VII.1 Pengantar Manajemen Aksi
Hal
yang paling dasar dalam PMII adalah pembekalan dirinya dengan kapasitas
intelektual yang memadai. Karena tanpa dasar konsepsional yang jelas, gerakan
PMII juga tidak akan menemukan kejelasan pada wilayah strategi dan taktik
gerakannya. Apalagi, asumsi dasar pergerakan adalah berawal dari konteks yang
bernama pendidikan. Muh. Hanif Dakhiri dan Zaini Rahman (2000), mengutip Ben
Agger (1992), mengatakan bahwa titik berangkat paling strategis bagi PMII
adalah mentransformasikan kehidupan intelektual sebagai investasi soial,
politik dan kebudayaan.
Dalam
kontkes inilah, semangat liberasi
(pembebasan) dan independensi
(kemandirian) yang pernah lahir dalam sejarah pemikiran PMII
menjadi sebuah rujukan yang cukup signifikan. Wilayah pembebasan dari konteks
penindasan, baik dari represifitas otoritas politik (negara-militer-partai),
maupun otoritas soial (agama, pendidik,) dan ekonomi (pasar). Dengan filosofi
liberasi akan terjadi proses perjuangan melampaui segala beban berat kehidupan
demi melanjutkan amanat kemanusiaan, sesuai dengan mandat yang diperoleh dari
Nilai Dasar Pergerakan (NDP).
Sejalan
dengan semangat liberasi dan independensi di atas itulah, PMII juga harus
berperan menciptakan ruang bagi publik (public sphere) yang kondusif
untuk mengembangkan kehidupan. Di titik inilah, Free Market of Ideas (FMI) menjadi signifikan untuk
diciptakan pada ruang-ruang kemasyarakatan, kenegaraan dan keilmuan. Karena
perlawanan terhadap hegemoni negara, ideologi, pasar dan agama harus dihadapi
dengan membuka sekian pintu kesadaran yang sengaja dikunci demi kepentingan
kekuasaan.
Pada
perbincangan tadi, kita sebenarnya sedang bergulat dengan dasar dan semangat
pergerakan untuk perlawanan. Dasar pergerakan ini akan menjadi lebih tajam,
sebagai sebuah kerangka jawaban bagi persoalan kemasyarakatan apabila kita jeli
dalam melihat persoalan yang mengemuka, baik pada level pembacaan situasi global (sit-glob), situasi nasional (sit-nas)
maupun situsasi lokal (sit-lok).
Maka perbincangan kita akan kita dekatkan dengan pembacaan atas “struktur penindasan” dan “situasi kemasyarakatan” yang ada
di dalamnya, yang akhirnya nanti bisa kita jadikan landasan untuk membuat “situasi perlawanan”.
VII.2 Pembacaaan
atas Situasi Penindasan dan Kemasyarakatan
Arus
utama dalam pembacaan atas situasi penindasan tidak akan bisa dilepaskan dari
sebuah era yang dikenal dengan era “globalisasi”. Karena di era inilah,
sekarang kita hidup dan menghadapinya dengan segala ketidakpastian. Ilmuwan
yang mengkaitakan globalisasi dengan situasi penindasan adalah Deepak Nyyar (1998) yang
mengatakan bahwa fase globalisasi dibagi menjadi dua, Pertama, fase
imperialisme Inggris yang terjadi pada range 1870 – 1913 yang memakai
payung ideologi kapitalisme klasik dengan
doktrin yang terkenal dari Adam Smith “leizzis faire” (pasar yang
sebebas-bebasnya, tanpa campur tangan negara). Kemudian fase kedua, adalah
dekade 70-80an ketika roda perekonomian bergerak ke Amerika Serikat yang
mendorongkan semangat yang hampir sama dengan fase sebelumnya di bawah ideologi
neo-liberalisme. Mengamini pendapat di atas, James Petras (2001)
mengatakan bahwa di dalam globalisasi yang menjadi slogan Barat, sesungguhnya
terdapat semangat dan kepentingan imperialisme dengan agenda penguasaan dalam
arti yang sangat luas, baik dalam arti material (SDA) maupun mental (SDM) atas
dunia ketiga.
Dengan
berpijak pada tiga doktrin, yakni Librealisasi
(kebebasan dalam arti ekonomik), deregulasi (tidak ada peraturan negara yang mengatur
arus lintas barang/jasa dan tidak ada subsidi bagi rakyat) dan privatisasi (BUMN harus
dijual pada swasta/pemodal), neoliberaslisme berjalan melewati setiap negara
yang sudah tidak berdaya karena lilitan hutang Luar Negri (HLN) . Dengan
tekanan HLN, inilah para negara donor-kapitalis (Uni Eropa, USA dan Jepang)
membuat peraturan-peraturan yang dipaksakan bagi negara dunia ketiga untuk
meliberalisasi kehidupan ekonominya. Lembaga seperti International Monetary
Fund (IMF), Paris Club, CGI dan WTO menjadi sangat efektif dalam melakukan
kerja-kerja imperialisme dengan baju globalisasi. Setelah penghambat (peraturan
Bea dan Cukai dll) bagi perdagangan bebas sudah bisa dikendalikan,
perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki negara kapitalis yang sering disebut
dengan Trans-National Corporation
(TNC) dan Multi-National
Corporation (MNC) mulai menancapkan kukunya di negeri
pertiwi. Pada saat inilah, budaya lokal dan aset kekayaan alam lainnya akan
disedot habis oleh para investor asing, dan akhirnya kita jadi terasing di
negeri sendiri. Dan yang lebih parah, kita menjadi budak di negeri sendiri
dengan upah yang sangat rendah.
Dalam
relasi penindasan yang demikian, masyarakat kita sebagian besar tersituasikan
pada posisi yang semakin hari semakin memprihatinkan. Petani tidak bisa menjual
gabah dan padinya dengan harga yang tinggi karena kalah bersaing dengan padi
dari luar. Hal yang sama kita jumpai pada komoditas gula, buah-buahan dan
barang keseharian lainnya. Dalam kondisi itu negara sudah tidak berdaya lagi
karena tekanan dari Lembaga Donor untuk tidak memberikan subsidi pada rakyat.
Kenaikan BBM, Listrik dan telepon adalah imbas dari pemotongan subsidi demi
pembayaran hutang. Demikian juga kenaikan biaya pendidikan juga bisa dilihat
dari perspektif ini. UU no 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS adalah gambaran dari
gelagat negara yang ingin melepas tanggungjawabnya atas subsidi pendidikan,
sehingga membuka peluang terjadinya komersialisasi
dan kapitalisasi pendidikan. Persoalan bertambah runyam ketika fondasi
perekonomian kita semakin lemah dan berimbas pada sektor tenaga kerja yang
semakin kehilangan lapangan pekerjaan.
Dalam
konteks semakin cepatnya laju dan arus globalisasi, kita malah secara politik
masih sibuk dengan pertarungan kepentingan kelompok-kelompk elit yang sebagin
besar tidak memihak rakyat. Pertarungan elit, baik di level eksekutif,
Legislatif maupun partai yang kadang di antaranya melibatkan kekuatan militer,
akhirnya berimbas pada kehidupan sosial politik masyarakat yang terpecah belah.
Separatisme, konflik berbasis SARA adalah beberapa contoh yang bisa disebutkan,
sebagai imbas dari amburadulnya budaya politik di level negara. Di sisi budaya
kita sedang digiring untuk menjadi orang yang tercerabut dari akar sejarah dan
budayanya. Kita semakin bangga kalau kita semakin Barat dan bisa meniru mereka
pada sisi kehidupan yang sekecil-kecilnya. Kita tidak sadar sedang didorong
untuk menjadi orang konsumeris untuk
menjadi pelanggan dari pasar yang dibuka oleh orang barat. Watak ini dalam
sejarah bangsa kita sering diosebut dengan watak inlander. (Gus Iim ; 2001).
Dampak
lain dari globalisai, adalah semakin mengentalnya paham-paham keagamaan yang
akhirnya melahirkan gerakan-gerakan fundamentalisme agama. Islam adalah agama
yang sering menjadi sorotan dalam kaitannya dengan fenomena ini, terutama
dengan kerja-kerja terorisme yang semakin hari semakin merebak. Peristiwa 11
September (black tuesday), Bom Bali, Bom J.W Marriot semakin meyakinkan
asumsi bahwa fundamentalisme agama sebagai sebuah resistensi terhadap
globalisasi yang sangat West-biased (bias Barat); atau bisa dikatakan
fundemantalisme pasar sedang berhadapan dengan fundamentalisme keagamaan
(Islam).
Walaupun gerakan fundamentalisme
Islam melawan kekuatan kapitalisme Barat, akan tetapi dalam konteks nalar
sosial-keagamaannya, pemahaman tekstual (skripturalistik) terhadap
ajaran dan doktrin agama sangatlah kental. Ruang-ruang ekspresi kontekstual
menjadi semakin sempit, dan ajaran akhirnya dipahami sebagai sesuatu yang
sangat kaku dan baku, karena pluralitas tidak menjadi bagian dalam kesadaran
tafsir mereka. Sehingga gerakan fundamentalis Islam cenderung gampang
mengkafirkan dan menggunakan kekerasan terhadap orang yang tidak satu pendapat
dengannya dan menggolongkannya sebagai “the other”.
Dari sekian pembacaan atas situasi
penindasan dan situasi kemasyarakatan di atas, kita mencoba membuat sebuah pola
umum untuk memudahkan membuat sebuah strategi perlawanan dan situasi-situasi
apa saja yang harus dibuat. Untuk ini, perlu melihat tulisan Eman Hermawan
(2001) yang membagi masyarakat dalam 3 lokus, yaitu : Civil Society (masyarakat
sipil: Ormas, LSM, Gerakan mahasiswa, kelompok-kelompok masyarakat lain), Political
Society (Masyarakat Politik: negara, partai politik) dan Economical
Society (masyarakat ekonomi: Pengusaha Pribumi, Investor, Spekulan,
MNC/TNC). Dalam kerangka 3 lokus masyarakat inilah strategi dan taktik gerakan
PMII akan dijelaskan dengan tetap memakai kerangka liberasi dan independensi, dengan mendorongkan Free Market of Ideas (FMI)
dan menggunakan paradigma yang kritis
dan transformatif.
LOKUS
MASYARAKAT
|
STRATEGI
GERAKAN
|
Civil
Society
|
Konteks
Kesadaran
¯ Kritis –
transformatif
¯ Pluralisme
dan berwawasan kebangsaan
¯ Sadar akan
bahaya budaya konsumerisme
¯ Kearifan
lokalitas dan tradisi
¯ Mengikis
budaya patriarkhi yang menyebabkan ketimpangan gender
Konteks
Gerakan
¯ Membuat
kantong-kantong kritis dengan diskusi kerakyatan
¯ Live In dalam
kerangka advokasi dan pendampingan
¯ Membuat
ruang-ruang perekonomian rakyat
¯ Memperkuat
bergaining politik terhadap masy. politik
¯ Kesenian dan
budaya sebagai perlawanan
¯ Aksi massa
dalam rangka injeksi kesadaran massa rakyat dan mendesakkan perubahan
kebijakan publik
|
Masyarakat
Politik
|
Negara
¯ Penguatan posisi negara terhadap tekanan pasar dan
negara kapitalis dengan regulasi
¯ penegakan supremasi hukum dan pemberantasan KKN
¯ Kemampuan negara untuk mengolah ruang publik
menjadi lebih terbuka dan transparan
¯ Penguatan sektor ekonomi untuk tenaga kerja
¯ Legislatif
yang peka dan aspiratif
Par-pol
¯ Menolak
elitisme par-pol
¯ Membuat ruang
bargaining politik dengan parpol
¯ Menolak
partai yang berselingkuh dengan modal
¯ Menolak
penggunaan aset negara untuk kepentinga partai tertentu
|
Masyarakat
Ekonomi
|
¯ Pengusaha dan
pemodal pribumi yang berpihak pada rakyat
¯ Menciptakan
pasar yang berkeadilan dengan tetap ada peraturan bersama (governance)/
doktrin ekonomi ke- Indonesiaan
¯ Membiarkan
serikat buruh berdiri sebagai kontrol dan dialektika
|
Strategi yang masih merupakan pola umum dalam konteks
perlawanan, harus diterjemahkan dan dikerucutkan dalam kerja-kerja taktis.
Antono Gramsci (1956) membagi 3 wilayah taktik gerakan atau perang (war), yakni
: war of position (perang posisi), war of opinion (perang opini)
dan war of movement (perang gerakan). ketiga wilayah pergerakan ini
menjadi landasan awal untuk membingkai stratak gerakan PMII saat ini.
Konteks pergerakan, minimal dari pelajaran Gramsci di
atas, haruslah memenuhi 3 ruang, yaitu ruang penegasan jati diri organ atau
posisi sikap sejarah terhadap situasi yang sedang berlangsung, ruang dialektika
pemikiran dan gagasan sebagai dasar rasionalitas atas posisi yang dipilih dan
ruang praksis yang menjadi indikator perubahan dengan sebuah dorongan konkret
baik di level massa kader, maupun massa rakyat.
Secara jelas derivasi taktik dari
masing-masing ruang dijelaskan dalam bagan sebagai berikut:
WAR
OF POSITION
|
WAR
OF OPINION
|
WAR
OF MOVEMENT
|
Nilai
Dasar Pergerakan
Aswaja
Paradigma
Kritis Transformatif
Liberasi,
Independensi dan Empowering
Tradisionalisme
Kritis
|
A. Konteks
Gagasan
· Tentang masyarakat
· Tentang pasar
·
Tentang Negara
B.
Konteks Manajemen Issu
· Basis media
· Basis intelektual kader
· Basis massa (diseminasi gagasan di level
masyarakat)
|
A. Kaderisasi
·
Formal
·
Non-formal: (Kantong-kantong kader : diskusi, jalanan, organisasi, kesenian
dll)
·
Informal
B. Pengorganisiran
·
Level kampus (antropologi kampus)
·
Level organ gerakan
·
Level basis massa rakyat
C.
Desakan ke otoritas
·
Kebijakan publik
· Kuasa sosial-ekonomi
·
Kuasa agama
|
Bagaimanapun gerakan harus
dipraksiskan. Seandainya basis massa belum diraih, maka tidak ada alasan untuk
diam. Aksi massa harus segencar mungkin dilancarkan untuk mendorongkan semangat
perubahan, sekaligus menjadi momentum untuk memberi injeksi kesadaran bagi
massa rakyat. Yang harus diperhatiakan dalam aksi massa adalah perangkat aksi dan
perlengkapan aksi. Perangkat
Aksi/Panitia Aksi:
1. Lunak : Issu dan tujuan dari aksi
massa.
2. Keras, meliputi kepanitiaan lapangan:
a. Kordinator Umum (kordum) sebagai
penanggungjawb aksi dan pembaca statemen atau pernyataan sikap
b. Kordinator lapangan (korlap) yang
mengatur jalannya massa aksi
c. Tim materi yang membuat pernyataan
sikap, selebaran dan press release
d. Negosiator untuk melobi aparat, atau
segala hal yang ditemui di lapangan
e. Kurir untuk melihat kondisi di
depan, belakang dan samping barisan.
f. Keamanan / security:
- Ring dalam untuk mengatur masa aksi
- Ring luar untuk menjaga massa dari serangan dari
luar
g. Logistik atau konsumsi
h. Tim Evakuasi yang akan menentukan
titik evakuasi kalau ada seranga, dan siap dengan kerja evakuasi atau
pengamanan
i. Tim advokasi untuk mengantisipasi
persoalan sampai tingkat persidangan, dengan menghubungi LBH-LBH terdekat
j. Happening Art
k. Perlatan dan perlengkapan (perkap)
aksi
l. Megaphone atau pengeras suara
m. Spanduk
n. Poster
o. Bendera organ
p. Tali Rafia (garis
demokrasi/revolusi)
q. Tanda pengenal atau slayer untuk
identitas massa aksi
r. Selebaran, pernyataan sikap dan
press release
s. Transport dan HP/HT untuk kurir dan
keamanan
VII.3 Pengorganisiran dan Mobilisasi Massa
Berdasarkan Situasi Nasional
- Mengorganisir, memobilisasi, menggerakan dan memimpin perlawanan mereka (baik dalam satu isu khusus/lokal :kampung, pabrik, desa, kampus hingga isu umum sektoral bahkan isu umum yang lintas sektor).
- Membentuk wadah-wadah perlawanan massa permanen.Wadah-wadah permanen ini bila berhasil dijaga dan terus diperbesar akan menjadi kekuatan pelopor kita untuk menggerakan massa secara lebih besar lagi.
- Mempercepat pengkaderan (rekruitment).
Ketiga proses diatas dilakukan secara bersamaan. Sambil kita
mengagitasi dan membuat struktur perlawanan.
1.
Prinsip pengorganisiran:
a.
Agitasi/Propaganda/Kampanye.
Keberhasilan sebuah aksi yang besar dan direncanakan akan sangat
tergantung (apalagi bagi organisasi yang masih kecil) dari keberhasilan
kerja-kerja agitasi/propaganda/kampanye yang didasarkan pada tuntutan umum
massa yang tidak mau dipenuhi oleh pemerintah (lain halnya dengan aksi massa
besar yang spontan akibat ledakan, yang tidak mungkin diperkirakan).
Keberhasilan dari kerja-kerja ini terlihat dari:
-
Terbangunya atmosfer
isu-isu atau tuntutan-tuntutan yang dipropagandakan.
-
Kesiapan (dukungan)
massa secara luas untuk terlibat dalam rencana aksi (termasuk menarik
aliansi/sekutu/kelompok).
-
Kesiapan subjektif
organisasi memimpin aksi ini.
-
Reaksi pemerintah.
-
Bila aksinya terbuka)
maka tanggal aksi (serta tempat aksi) juga menjadi populer di massa.
Semua
alat-alat propaganda harus selalu dihubungkan dengan perluasaan propaganda isu
yang kita pergunakan untuk aksi. Jadi setelah disepakati isunya, maka semua
terbitan, poster, statement, diskusi, seminar, selebaran, grafity action
(corat-coret) harus dihubungkan dengan hal diatas.
2. Pengorganisiran
Kerja-kerja propaganda dan agitasi harus juga sejalan dengan pengorganisiran massa guna persiapan aksi tersebut. Artinya seluruh pengorganisiran massa harus dipergunakan “nantinya” untuk kekuatan aksi yang kita selenggarakan.
Secara umum “organisir”aksi ini harus terwujud secara massal. Dari mulai mengkonsolidasikan basis kita yang sudah terorganisir hingga perluasaanya. Ini harus menjadi tugas pekerjaan/pengorganisiran bukan saja bagi kader melainkan setiap massa yang terlibat aktif dalam rencana aksi. Sejak awal pengorganisiran harus terbangun jaringan agen/koordinator pengorganisiran (yang akan diperbaiki dalam setiap perkembangan pengorganisiran). Secara ekstrem dapat dikatakan “setiap hari” harus ada tambahan jumlah massa yang bisa diajak aktif untuk acara ini (menjadi organiser). “Setiap hari” harus ada tambahan kontak baru yang mau mengkonsolidasikan tempatnya (tempat tinggal/kerja) untuk diajak ikut rencana aksi ini. “Setiap hari” harus ada kontak perluasaan daerah basis yang bisa diajak dan aktif membangun kekuatan dibasis daerahnya.
a.
Jumlah basis (yang diorganisir
dan perluasan/kontak), semua laporan perkota dan basis diatas)dilaporkan
kembali.
b.
Laporan kekuatan massa pelopor
untuk memimpin/mendorong massa dalam kota/basis terlibat dalam aksi.
c.
Laporan distribusi selebaran,
poster dan corat-coret dan distribusinya.
d.
Kesimpulan dari
respon/tanggapan/usulan massa di seluruh basis yang diorganisir dan massa umum
kaum buruh maupun non buruh.
e.
Respon penguasa, penduduk
setempat, aparat dan pemerintah.
f.
Evaluasi pengorganisiran
g.
Evaluasi struktur
koordinator/agen/mobilisasi hingga perubahannya.
h.
Rencana kedepan (hingga
pertemuan wilayah).
3.
Rapat Umum (semua koordinator dari seluruh tingkatan)
Menjelang hari H akan ada pertemuan besar (seluruh koordinator
hingga koordinator terkecil untuk cek kesiapan massa).
4.
Taktik Strategi Atas:
Pada saat ini sangat mungkin untuk mempergunakan strategi atas untuk
mendukung dan memaksimalkan kerja-kerja dibawah. Yang dimaksud strategi atas
disini bukan saja persoalan kampanye (seperti dalam bentuk seminar terbuka)
melainkan melakukan seruan aksi nasional terbuka jauh-jauh hari. Kita tidak
akan melakukan ini jika tidak terlihat kesiapan hasil kerja sahabat-sahabat di
pengorganisiran. Setelah dilihat kesiapan untuk melakukan mobilisasi umum
nasional/wilayah, maka pimpinan pusat/wilayah akan mengeluarkan seruan terbuka
tentang aksi itu. Ini dilakukan juga paling cepat satu bulan sebelum aksi
dilakukan. Setelah ini harus dilakukan dukungan dari daerah-daerah baik berupa
konferensi pers maupun aksi agar terlihat kebesaran dari rencana aksi nasional.
Dukungan juga harus datang dari organisasi lain : Mahasiswa, LBH, LSM hingga
partai-partai dan tokoh-tokoh. Adanya tanggapan dari pemerintah biasanya akan
justru mendorong kampanye kita (memperluas atmosfer agitasi propaganda kita).
Kerja-kerja pengorganisiran di bawah dapat lebih terdorong lagi. Walaupun
kemungkinan represif dan kontra aksi akan dilakukan aparat keamanan, pengusaha
dan pemerintah. Lain-Lain : Seminar, talk show dll.
VII.4 Aliansi / Front
Kesiapan kita untuk melakukan
mobilisasi massa umum harus dilakukan sesuai dengan target kita. Cara-cara yang
dipergunakan dalam aliansi/front harus diusahakan semua tuntutan, program dan
taktik kita dapat diterima. Melihat watak kelompok-kelompok massa yang ada.
Aliansi/front akan sangat mungkin terbentuk/terdorong jika kita berhasil
melakukan pra kondisi. Dengan cara mempelopori pra kondisi kita juga dapat
memimpin.
Aksi Pra Kondisi :
Aksi pra kondisi yang dilakukan
dimaksudkan untuk melihat tingkat konsolidasi dan persiapan massa sebelum aksi.
Aksi yang terpenting adalah aksi rally, demo, rapat akbar di satu kawasan/kota.
Jadi aksinya di basis massa. Ini dimaksudkan untuk memaksimalkan kerja
propaganda dan mencek tingkat dukungan massa dan latihan bagi mobilisasi pada
hari H nantinya. Sebelum aksi ini dilakukan terlebih dahulu dilakukan kampanye
baik dalam strategi bawah (pengorganisiran, selebaran) maupun strategi atas :
Konferensi pers atau kalau perlu ada aksi awal dengan mengadakan aksi
mendatangi DPR, Depnaker dll.
Catatan tentang front : Bila front berhasil terbentuk maka kegiatan
yang dilakukan dapat dilakukan atas nama front termasuk siapa yang menyerukan
aksi (nasional) dan dukungan daerah. Tetapi yang harus diingat kita tetap harus
menjalankan program kita dan independen terhadap taktik kita bila front tidak
menyetujui ini menjadi keputusan mengikat.
Seluruh kerja diatas harus dapat
dikontrol secara penuh oleh partai. Kontrol disini bukan saja dimaksudkan untuk
menerima laporan kerja sahabat-sahabat melainkan juga memberikan arahan secara
regular dan konsisten dan membantu pekerjaan ini secara sistematis. Semua
kerja-kerja di pengorganisiran (pabrik, kota, wilayah) harus dilaporkan secara
rutin hingga kepusat. Hingga jauh-jauh hari sebelum hari H sudah bisa dilihat
kesiapan dan kemungkinan keberhasilan aksi tersebut.
Semua tindakan kerja-kerja
pengorganisiran (dalam setiap pertemuan dan diskusi massa) dilakukan dalam satu
gerak yang sama yaitu:
- Agitasi dan propaganda : agitasi isu, propaganda untuk bersatu, tuntut ke pemerintah.
- Kondisi basis (tempat kerja/tinggal) dan massa (untuk menetapkan taktik pengorganisiran) : jumlah massa, geopolitik basis, isu/tuntutan/persoalan basis.
- Pertemuan berikut di basis-basis yang lebih kecil.
- Pemilihan koordinator sementara.
- Ada absensi.
- Seruan untuk mengajak kontak dalam pertemuan massa berikut.
- Kerjaan ini terus dilakukan berulang-ulang di setiap basis baru hingga menjelang hari H.
Catatan: Bila satu basis telah terkonsolidasi
maka pertemuan pertemuan massa
di basis dapat dihentikan dan digantikan hanya dengan tugas penyebaran bacaan
dan mencari kontak di tempat lain. Tetapi pertemuan seluruh koordinator dalam
satu basis tetap dilakukan.
A. Pertemuan
koordinator dibasis yang paling kecil: pabrik/kampung/desa/kampus:
Laporan
(ditulis) :
- Jumlah kumpulan (sesuai dengan struktur mobilisasi), berapa massa yang hadir dalam kumpulan (dari absensi). Dari kumpulan yang ada berapa % kemampuan untuk memobilisasi massa di basis tersebut.
- Jumlah selebaran/poster yang didistribusikan dan corat-coret yang dilakukan.
- Respon/tanggapan/usulan massa dan respon penguasa
- Kontak massa lain yang ikut kumpulan.
- Rencana pengorganisiran berikut/perluasan.
- Evaluasi pengorganisran
- Evaluasi struktur koordinator/agen/mobilisasi hingga perubahannya
- Rencana ke depan (hingga pertemuan kota/wilayah terdekat).
- Lain-lain
B. Pertemuan kota/wilayah (pertemuan koordinator-koordinator
basis terkecil):
Laporan Per kota (ditulis) :
· Geo-politik :
jumlah massa, pengalaman revolusioner massa kota , peta geo-politik kota,
lokasi kekuatan massa yang telah terorganisir, lokasi-lokasi basis strategi
(sasaran pengorganisiran), kondisi masyarakat setempat, aparat, rute-rute jalan,
transportasi dll.
· Jumlah basis (yang
diorganisir dan perluasan/kontak): semua laporan basis terkecil dilaporkan
kembali.
· Laporan kekuatan
massa kepeloporan untuk memimpin/mendorong seluruh massa dalam satu
“kota/lokasi” terlibat.
· Laporan distribusi
selebaran, poster dan corat-coret dan distribusinya.
· Kesimpulan dari
respon/tanggapan/usulan massa di seluruh basis yang diorganisir dan massa umum.
· Respon massa
setempat dan aparat.
· Evaluasi
pengorganisiran.
· Evaluasi struktur
koordinator/agen/mobilisasi hingga perubahannya.
· Rencana ke depan
(hingga pertemuan wilayah)
C.
Pertemuan wilayah (pertemuan koordinator kota yang bisa diperluas
melibatkan koordintor basis).
Laporan wilayah (ditulis) :
· Geo politik wilayah
: jumlah massa, pengalaman revolusioner massa wilyah, peta geo-politik wilayah,
lokasi kekuatan kota-kota yang di organisir, lokasi-lokasi kota strategis
(sasaran pengorganisiran), kondisi masyarakat setempat, penguasa, aparat,
rute-rute jalan, transportasi, dll.
· Jumlah kota yang
menjadi basis.
VII.5 Bentuk-bentuk Agitasi
1. Agitasi-Propaganda tertulis
a.
Agitasi dan propaganda terbuka/umum/massal. Untuk aksi wilayah maka agitasi lewat poster biasanya sangat efektif
untuk mensosialisasikan tuntutan-tuntutan kita, untuk membangkitkan atmosfer
perlawanan disana. Apalagi ketika basis kita di wilayah tersebut masih lemah.
Penempelan poster harus ditempelkan di tempat-tempat strategis yaitu tempat
berkumpul massa.
b.
Agitasi lewat selebaran. Tanpa selebaran tidak
mungkin ribuan, puluhan ribu massa dapat kita organisir. Karena tidak mungkin
kita mengumpulkan ribuan massa dan membicarakan hal ini, disamping tidak aman
juga tidak ada tempat. Selebaran ini sifatnya bukan saja sebagai alat untuk
agitasi dan propaganda melainkan lewat selebaran ini struktur agen-agen
mobilisasi dibentuk/dibangun. Lewat selebaran ini massa dapat digerakan secara terorganisir, patuh dan disiplin
terhadap seluruh keputusan taktik-taktik yang kita buat. Massa akhirnya bisa
dipimpin lewat selebaran. Biasanya setelah selebaran kedua maka massa akan
mengerti bahwa ia akan dipimpin oleh selebaran. Jadi pada dasarnya agen
selebaran adalah juga agen mobilisasi sama dengan struktur mobilisasi kita.
Selebaran juga berfungsi untuk keamanan rencana aksi. Lewat selebaran maka
pertemuan-pertemuan massa dapat diperkecil. Hanya agen-agen misalnya.
Catatan: Selebaran tidak hanya dipergunakan pada pra aksi melainkan juga pada
pasca aksi hari pertama atau untuk menggerakan aksi kembali, memperluas aksi
dll. Di tempat-tempat di distribusikannya selebaran atau poster penting
untuk dikirimkan sahabat ke lokasi ini. Tujuannya untuk mengagitasi dan
selanjutnya mendapatkan kontak untuk diorganisir.
2.
Agitasi-Propaganda Oral
a.
Agitasi dan Propaganda lewat
pertemuan/kumpulan
Ini suatu tindakan yang penting adalah untuk meyakinkan massa dan
mengaktifkan mereka dalam rencana kita. Karena biasanya ada persoalan-persoalan
ataupun pertanyaan dari massa akan suatu hal yang tidak ia dimengerti. Artinya
agitasi dan propaganda kita lewat selebaran harus juga dibarengi dengan
agitasi-propaganda lewat pertemuan. Lewat pertemuan kita bisa menjelaskan
tuntutan kita lebih panjang dan bisa diterima massa.
b.
Agitasi dari rumah ke rumah
Agitasi –propaganda ini berfungsi untuk mengajak kontak untuk
diyakinkan dan dapat ikut serta dalam pertemuan yang kita lakukan. Biasanya ini
dipergunakan pada tahap awal pengorganisiran atau ketika ada perluasan ke basis
lain dan sifatnya masih kontak.
0 Response to "Materi PKD "RENCANA, STRATEGI DAN MANAJEMEN AKSI""
Posting Komentar