“Islam adalah
Agama yang realistis dan mencintai alam, kekuatan, keindahan, kelimpahan,
kemajuan, dan keterpenuhan segala kebutuhan manusia”.
Ali Syari’ati
Akar pokok Agama
Islam adalah Tauhid atau pernyataan monoteistis bahwa Allah itu Esa. menurut
Syari’ati, Tauhid juga merupakan pandangan dunia yang melihat seluruh dunia
sebagai sistem yang utuh-menyeluruh, harmonis, hidup, dan sadar diri, yang
melampaui segala dikotomi, dibimbing oleh tujuan Ilahi yang sama.
Dalam dataran
historis-empiris, Islam hadir ditengah-tengah masyarakat yang kacau, yang
ditandai dengan manipisnya penghargaan manusia pada nilai-nilai kemanusiaan
mereka sendiri. Kehadiran Islam di bumi Arab pada satu sisi merupakan risalah
pentauhidan, pengesaan Tuhan sebagai sesembahan Tunggal. Risalah pentauhidan
ini disampaikan oleh seorang manusia sempurna, Muhammad kepada masyarakat Arab
Jahiliyah yang telah menciptakan objek sesembahan baru berupa patung-patung
berhala seperti Latta dan Uzza. Di sisi lainnya, kehadiran Islam di tengah masyarakat
Arab Jahiliyah juga diyakini sebagai awal lahirnya risalah pembebasan manusia
dari ketertindasan, kebodohan, perbudakan dan diskriminasi struktur sosial di
masyarakat Arab Jahiliyah. Islam sebenarnya hadir mengajak ummatnya untuk
tunduk kepada Allah dan didorong untuk memberontak melawan penindasan,
ketidak-adilan, kebodohan, serta ketiadaan persamaan (ketimpangan).
Konteks
kesejarahan pada waktu Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai rasul, adalah dengan
suasana dan keyakinan politheistik yang mengabaikan arti kemanusiaan. Nabi
muhammad hadir untuk membawakan kembali ajaran tauhid. Ajaran tauhid yang
dibawa itu merupakan pernyataan yang menegasikan segala bentuk politheisme atau
kemusyrikan, bukan hanya pada tataran ritualistik yang lebih berdimensi personal
belaka, seperti menyembah berhala, patung, api, dan sebagainya; tetapi juga
pada bentuk kemusyrikan sosial dan politik, seperti memaha-agungkan dan
memuja kepentingan-kepentingan pribadi, golongan, etnis dan sebagainya.
Hal ini bukanlah sekedar pernyataan
verbal individual semata, melainkan juga seruan untuk menjadikan keesaan
itu sebagai basis utama pembentukan tatanan sosial-poliitik-kebudayaan. Pada
dimensi individual, tauhid berarti pembebasan manusia dari sifat-sifat
individualistik serta pembebasan dari segala bentuk belenggu perbudakan dalam
arti yang luas, yaitu; perbudakan manusia atas manusia, perbudakan diri
terhadap benda-benda dan perbudakan diri terhadap segala bentuk
kesenangan-kesenangan pribadi, kebanggan dan kesombongan diri dihadapan orang
lain serta hal-hal lain yang menjadi kecenderungan egoistik manusia.
Islam berarti sebagai ketundukan
kepada prinsip-prinsip kebenaran, kesetaraan sosial, cinta, dan prinsip-prinsip
lain yang melandasi berdirinya suatu komunitas yang bebas dan setara. Islam
bukanlah hanya sebuah ide baku atau suatu sistem ritual-ritual, upacara-upacara
dan lembaga-lembaga yang kaku belaka, melainkan suatu prinsip progresif yang
selalu menghapuskan tatanan-tatanan lama yang sudah tidak sesuai dengan situasi
dan kondisi masyarakat, memelihara segala sesuatu yang masih relevan serta
merevisi dan merenovasi dengan menghadirkan hal-hal baru yang lebih maslahat
dan manfaat. Musa menghapus tatanan sosial yang
dibangun Ibrahim. Isa mencabut tatanan ekonomi Musa. Muhammad SAW menghapus
lembaga-lembaga sosial dan ekonomi yang dibangun oleh nabi-nabi sebelumnya.
Tetapi semuanya saling menegaskan kebenaran satu sama lain. Kebenarannya adalah
bahwa semua manusia adalah setara. Mereka harus jujur, berkata benar, dan
berjuang melawan kekuatan-kekuatan jahat, diskriminasi, penindasan, dan
kepalsuan. Lembaga-lembaganya boleh berubah, adat-istiadatnya juga boleh
bervariasi, tetapi kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan tetap tinggal sebagai prinsip-prinsip masyarakat yang bebas,
adil, dan egaliter.
“Jika Musa jadi
pembebas bangsa Israel,
maka Muhammad SAW adalah pembebas bagi seluruh umat manusia”
Makna
pembebasan dan pertanggungjawaban individual
tersebut pada gilirannya memberikan refleksi pada relasi-relasi sosial
kemanusiaan universal. Tauhid merupakan pernyataan yang bermakna pembebasan
diri dari dan penolakan terhadap pandangan dan sikap-sikap tiranik manusia
terhadap penindasan manusia atas manusia yang lain untuk dan atas nama
kekuatan, kepemilikan dan keunggulan kultural apapun. Afirmasi teologis tauhid,
sekali lagi, sejatinya merupakan upaya-upaya pembentukan tatanan sosial
politik yang didasarkan atas kesatuan moralitas kemanusiaan yang melintasi
batas-batas kultural dan ideologis.
Islam merupakan sebuah teologi pembebasan yang membumi dan humanis, dari Tuhan untuk manusia penghuni bumi.
Teologi pembebasan menemukan momentumnya, khususnya ketika marak dan gencarnya
pemberantasan kemiskinan dan keterbelakangan ditanah air maupun di belahan
dunia ketiga umumnya. Dalam momen itulah Teologi alternatif diperlukan, yaitu
Teologi Pembebasan, teologi populis atau teologi
padanan lainnya sebagai antitesis Teologi Elitis, rumit, dan melangit. Teologi
yang dibutuhkan pada masa kini adalah
Teologi yang membumi, yang mampu mendobrak supremasi tirani dan rezim lalim,
mengenyahkan belenggu-belenggu kebebasan, mengejar berbagai ketertinggalan,
mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan. Pesan Teologi
tersebut sangat luhur, humanis, dan mulia.
Teologi Pembebasan menurut Asghar Ali Engineer,
- Pertama, tidak menginginkan status qou yang melindungi golongan kaya ketika berhadapan dengan golongan miskin. Dengan kata lain, Teologi Pembebasan bersifat anti kemapanan, apakah kemapanan religius ataupun kemapanan politik.
- Kedua, Teologi Pembebasan memainkan peran dalam membela kelompok tertindas (kaum mustadl’afin) serta memperjuangkan kepentingan kelompok ini dengan cara membekali senjata ideologis yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya.
Dalam konteks
keindonesiaan, menurut Abad Badruzaman, solusi Al-Qur’an atas problematika
kemiskinan, krisis ekonomi tidak akan dapat diaplikasikan dengan baik apabila
pemerintah tidak mengambil bagian di dalamnya. Bagaimanapun, problematika yang
begitu komplek di negeri ini mewajibkan seluruh elemen, baik pemerintah maupun
rakyat untuk selalu menjalin kerjasama dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Relevansinya bertemali dengan seruan Al-Qur’an yang memerintahkan kepada rakyat
suatu Negara untuk selalu mentaati perintah penguasa selama dalam konteks
kebenaran. Namun, solusi yang diberikan Al-Qur’an tidak akan berjalan efektif
selama kedua elemen tersebut ; penguasa dan rakyat, tidak pernah menemukan
titik temu. Penguasa bertindak lalim dengan mengkorupsi uang rakyatnya,
sementara itu rakyatnya akan terus membangkang dan tetap hidup dalam jerat
kemiskinan.
Untuk itulah
kita sebagai pemegang tali estafet perjuangan bangsa harus senantiasa mengawal
dan mengontrol segala kebijakan dan keputusan yang dikeluarkan pemerintah.
Kalau memang dinilai tidak memihak rakyat, kita harus berani berada pada
barisan depan untuk menyuarakan Tidak pada penguasa yang
lalim tersebut.
Tangan terkepal
dan maju ke muka….!!!
0 Response to "ISLAM SEBAGAI TEOLOGI PEMBEBASAN "
Posting Komentar