A.
PENDAHULUAN
Citra bahwa laki-laki itu kuat
dan rasional sementara perempuan lemah dan emosional merupakan konstruksi
budaya. Citra tersebut bukanlah kodrat. Pembeda laki-laki dan perempuan
terletak pada biologisnya, itulah yang disebut kodrat.
Konstruksi budaya di atas seringkali
disalahartikan sebagai kodrat sehingga menimbulkan rantai ketidakadilan yang
cenderung menindas baik laki-laki dan khususnya perempuan. Ketidakadilan
tersebut telah berlangsung selama berabad-abad, setua peradaban manusia.
PMII memiliki komitmen terhadap
keadilan gender, dan diwujudkan melalui pelembagaan gerakan perempuan bernama
KOPRI. Dalam perjalanan, KOPRI melewati berbagai dinamika. Sempat dibekukan
kemudian dalam KONGRES di Kutai (2003) direkomendasikan untuk diaktifkan
kembali.
B. GENDER DAN GERAKAN PEREMPUAN
1.
Pengertian Gender
Menurut
bahasa, kata gender diartikan sebagai “the grouping of words into masculine,
feminine, and neuter, according as they are regarded as male, female or without
sex” yang artinya gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin,
feminin, atau tanpa keduanya (netral). Dapat dipahami bahwa gender adalah
perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan. Konsep gender
sendiri harus dibedakan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin).
Kata gender jika ditinjau secara terminologis merupakan
kata serapan yang diambil dari bahasa Inggris. Kata
Gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin” (John
M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, cet. XII, 1983,
hlm. 265). Dalam
Webster’s New World
Dictionary, gender diartikan
sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
nilai dan tingkah laku (Victoria
Neufeldt (ed), Webster’s New World Dictionary, 1984, hlm. 561). Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang
berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat (Helen Tierney (ed), Women’s
Studies Encylopedia, vol. I, New York: Green Wood Press,, h.153.).
Karena istilah
gender masih sangat baru dipergunakan dalam blantika perbendaharaan kata di
Indonesia, maka kata tersebut tidak dijumpai dalam kamus-kamus bahasa
Indonesia. Namun, kata ini terus melakukan proses asimilasi dengan bahasa
Indonesia. Pengaruh kuat dari sosialisasi dalam masyarakat maka kata tersebut
tidak lagi ditulis dengan huruf italik karena sudah seakan-akan dianggap bagian
dari bahasa Indonesia, demikian juga dalam penulisan sebagian telah menggunakan
kata gender menjadi gender.
Kata gender ini jika dilihat posisinya dari segi struktur
bahasa (gramatikal) adalah bentuk nomina (noun) yang menunjuk
kepada arti jenis kelamin, sex (Peter
Salim, Advance English-Indonesia Dictionary, edisi ketiga, Jakarta:
Modern English Press, 1991, h. 384), atau disebut dengan al-jins dalam bahasa Arab Hans (Wehr, A Dictionary of
Modern Written Arabic, cet. III, London: McDonald & Evans Ltd., 1980,
h. 141. Lihat pula Munir Ba’albakiy, Al-Maurid: Qāmūs Injilizīy Arabīy, Beirūt:
Dār al- ‘Ilm li al-Malāyīn, 1985, h. 383). Sehingga jika seseorang menyebut atau bertanya tentang gender maka yang
dimaksud adalah jenis kelamin––dengan menggunakan pendekatan bahasa. Kata ini
masih terbilang kosa kata baru yang masuk ke dalam khazanah perbendaharaan kata
bahasa Indonesia. Istilah ini menjadi sangat lazim digunakan dalam beberapa
dekade terakhir.
Pengertian gender secara terminologis cukup banyak
dikemukakan oleh para feminis dan pemerhati perempuan. Julia Cleves Musse dalam
bukunya Half the
World, Half a Chance mendefinisikan
gender sebagai sebuah peringkat peran yang bisa diibaratkan dengan kostum dan
topeng pada sebuah acara pertunjukan agar orang lain bisa mengidentifikasi bahwa
kita adalah feminim atau maskulin (Lihat
Julia Cleves Mosse, Half the World, Half a Chance: an Introduction to
Gender and Development, terjemahan Hartian Silawati dengan judul Gender
dan Pembangunan, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 3.)
Suke Silverius memberi
pengertian tentang gender sebagai pola relasi hubungan antara laki-laki dan
wanita yang dipakai untuk menunjukkan perangkat sosial dalam rangka validitasi
dan pelestarian himpunan hubungan-hubungan dalam tatanan sosial (Lihat
Suke Silberius, Gender dalam Budaya Dehumanisasi dari Proses Humanisasi,
Kajian Dikbud, No. 013, Tahun IV, Juni 1998, http://.www.gender.or.id.).
Ivan Illich mendefinisikan gender dengan pembeda-bedaan
tempat, waktu, alat-alat, tugastugas, bentuk pembicaraan, tingkah laku dan
persepsi yang dikaitkan dengan perempuan dalam budaya sosial. Illich
dianggap sebagai orang yang pertama menggunakan istilah gender dalam analisis
ilmiahnya untuk membedakan segala sesuatu di dalam masyarakat yang tidak hanya
terbatas pada penggunaan jenis kelamin semata (Lihat Siti Ruhaini Dzuhayatin,
“Gender dalam Persfektif Islam: Studi terhadap Hal-hal yang Menguatkan dan
Melemahkan Gender dalam Islam”, dalam Mansour Fakih et al, Membincang
Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, cet. I (Surabaya: Risalah
Gusti, 1996), h. 23. Ivan Illich menulis buku Gender, diterjemahkan oleh
Omi Intan Naomi dengan judul Gender, cet. I (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998.
Zaitunah Subhan mengemukakan
bahwa yang dimaksud gender adalah konsep analisis yang dipergunakan untuk
menjelaskan sesuatu yang didasarkan pada pembedaan laki-laki dan perempuan
karena konstruksi sosial budaya (Lihat Zaitunah Subhan, “Gender dalam Perspektif
Islam”, dalam jurnal Akademika, vol. 06, No. 2, Maret, h. 128).
Pengertian yang lebih
kongkrit dan lebih operasioanal dikemukakan oleh Nasaruddin Umar bahwa gender
adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi perbedaan
dalam hal peran, prilaku dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa sosial (Lihat Nasaruddin Umar, “Perspektif
Gender dalam Islam”, jurnal Paramadina, Vol. I. No. 1, Juli–Desember
1998, h. 99).
Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa gender adalah sebuah konsep yang dijadikan parameter dalam
pengidentifikasian peran laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada pengaruh
sosial budaya masyarakat (social
contruction) dengan tidak
melihat jenis biologis secara equality dan tidak menjadikannya sebagai alat
pendiskriminasian salah satu pihak karena pertimbangan yang sifatnya biologis.
Hilary M. Lips dalam bukunya
yang terkenal Sex &
Gender: An Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan
perempuan (cultural
expectations for women and men). Pendapat ini
sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua
ketetapan masyarakat prihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau
perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminim is a
componen of gender) (Linda L. Lindsey, Gender
Roles a Sociological Perspective, New Jersey: Prentice Hall, 1990, h. 2.)
H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu
dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam
membedakan laki-laki dan perempuan (H.
T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense or Civilization,
Leiden, New York: Kobenhavn, Koln: E. J. Brill, 1989, h. 2.). Agak sejalan dengan pendapat yang
dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar
pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi
menekankan gender sebagai konsep analisa yang dapat
digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Gender is an anality concept whose meanings we work to
elucidate, and subject matter we proceed to study as we try to define it) (Elaine Showalter (ed), Speaking of Gender,
New York & London: Routledge, 1989, h. 3).
Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa
Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dengan istilah “gender”. Gender diartikan
sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni
laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan
pembagian kerja yang dianggap tetap bagi laki-laki dan perempuan (Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan, Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender,
1992, h. 3).
Dari berbagai definisi di
atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk
rekayasa masyarakat (social
contructions), bukannya
sesuatu yang bersifat kodrati.
Sedangkan pengertian paham
kesetaraan gender -seperti yang dikutip Nasaruddin Umar dari Women's Studies Encyclopedia-,
adalah "konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam
hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat".
Ada beberapa definisi gender
lainnya yang dia kutip, namun mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda,
yang pada intinya tidak terlepas dari tiga kata kunci: laki-laki, perempuan dan
kebudayaan.
2. Gender dalam Islam
Di dalam ayat-ayat al-Qur’an
maupun as-Sunnah Nabi yang merupakan sumber utama ajaran Islam, terkandung
nilai-nilai universal yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia dulu, kini
dan akan datang. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai kemanusiaan, keadilan,
kemerdekaan, kesetaraan dan sebagainya. Berkaitan dengan nilai keadilan dan
kesetaraan, Islam tidak pernah mentolerir adanya perbedaan atau perlakuan
diskriminasi diantara umat manusia. Berikut ini beberapa hal yang perlu
diketahui mengenai kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an.
Dalam al-Qur’an surat Al-Isra
ayat 70 yang berbunyi (ditulis al-Qur’annya dalam buku perempuan sebagai
kepala rumah tangga hal 41) bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia yaitu
laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukan yang paling
terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan memiliki akal, perasaan dan
menerima petunjuk. Oleh karena itu Al-quran tidak mengenal pembedaan antara
lelaki dan perempuan karena dihadapan Allah SWT, lelaki dan perempuan mempunyai
derajat dan kedudukan yang sama, dan yang membedakan antara lelaki dan
perempuan hanyalah dari segi biologisnya.
Islam
mengajarkan umatnya untuk saling menghargai dan menghormati. Menurut Lily
Zakiyah Munir (Kompas, 20 Oktober 2005) "Ada sekitar 30 ayat Al Quran yang
mengacu pada kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dan hak perempuan. Lebih
lanjut Lily Zakiyah Munir juga menyebutkan bahwa Al Quran juga melarang paling
tidak enam bentuk kekerasan terhadap perempuan yang lumrah terjadi di
masyarakat Arab pada saat itu. (Asrizal Lutfi, 2008).
Adapun dalil-dalil dalam
al-Qur’an yang mengatur tentang kesetaraan gender adalah:
a. Tentang hakikat penciptaan
lelaki dan perempuan
Surat Ar-Rum ayat 21, surat
An-nisa ayat 1, surat Hujurat ayat 13 yang pada intinya berisi bahwa Allah SWT
telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu lelaki dan perempuan, supaya
mereka hidup tenang dan tentram, agar saling mencintai dan menyayangi serta
kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki dan perempuan serta
agar mereka saling mengenal. Ayat -ayat diatas menunjukkan adanya hubungan yang
saling timbal balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada satupun yang
mengindikasikan adanya superioritas satu jenis atas jenis lainnya.
b. Tentang kedudukan dan
kesetaraan antara lelaki dan perempuan
Surat Ali-Imran ayat 195, surat
An-Nisa ayat 124, surat An-nahl ayat 97, surat Ataubah ayat 71-72, surat
Al-Ahzab ayat 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwa Allah SWT secara khusus
menunjuk baik kepada perempuan maupun lelaki untuk menegakkan nilai-nilai islam
dengan beriman, bertaqwa dan beramal. Allah SWT juga memberikan peran dan
tanggung jawab yang sama antara lelaki dan perempuan dalam menjalankan
kehidupan spiritualnya. Dan Allah pun memberikan sanksi yang sama terhadap
perempuan dan lelaki untuk semua kesalahan yang dilakukannya. Jadi pada intinya
kedudukan dan derajat antara lelaki dan perempuan dimata Allah SWT adalah sama,
dan yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.
3. Prinsip Kesetaraan Gender
dalam Al-Qur’an
Menurut D.R. Nasaruddin Umar
dalam "Jurnal Pemikiran Islam tentang Pemberdayaan Perempuan" (2000)
ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip kesetaraan gender ada
di dalam Qur’an, yakni:
a. Perempuan dan Laki-laki
Sama-sama Sebagai Hamba
Menurut Q.S. al-Zariyat
(51:56), (ditulis al-Qur’annya dalam buku argumen kesetaraan gender hal 248)
Dalam kapasitas sebagai hamba tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba
ideal. Hamba ideal dalam Qur’an biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang
bertaqwa (mutaqqun), dan untuk mencapai derajat mutaqqun ini
tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis
tertentu, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Hujurat (49:13).
b. Perempuan dan Laki-laki
sebagai Khalifah di Bumi
Kapasitas manusia sebagai
khalifah di muka bumi (khalifah fi al’ard) ditegaskan dalam Q.S.
al-An’am(6:165), dan dalam Q.S. al-Baqarah (2:30) Dalam kedua ayat tersebut,
kata ‘khalifah" tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin tertentu,
artinya, baik perempuan maupun laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai
khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi.
c. Perempuan dan Laki-laki
Menerima Perjanjian Awal dengan Tuhan
Perempuan dan laki-laki
sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian awal dengan Tuhan, seperti
dalam Q.S. al A’raf (7:172) yakni ikrar akan keberadaan Tuhan yang disaksikan
oleh para malaikat. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya
diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar
ketuhanan yang sama. Qur’an juga menegaskan bahwa Allah memuliakan seluruh anak
cucu Adam tanpa pembedaan jenis kelamin. (Q.S. al-Isra’/17:70)
d. Adam dan Hawa Terlibat
secara Aktif Dalam Drama Kosmis
Semua ayat yang menceritakan
tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam dan Hawa di surga
sampai keluar ke bumi, selalu menekankan keterlibatan keduanya secara aktif,
dengan penggunaan kata ganti untuk dua orang (huma), yakni kata ganti untuk
Adam dan Hawa, yang terlihat dalam beberapa kasus berikut:
1. Keduanya diciptakan di surga
dan memanfaatkan fasilitas surga (Q.S.al-Baqarah/2:35).
2. Keduanya mendapat kualitas
godaan yang sama dari setan (Q.S.al-A’raf/7:20)
3. Sama-sama memohon ampun dan
sama-sama diampuni Tuhan (Q.S.al A’raf/7:23)
4. Setelah di bumi keduanya
mengembangkanketurunan dan saling melengkapi dan saling membutuhkan (Q.S.al
Baqarah/2:187)
e.
Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Berpotensi Meraih Prestasi
Peluang untuk meraih prestasi
maksimum tidak ada pembedaan antara perempuan dan laki-laki ditegaskan secara
khusus dalam 3 (tiga) ayat, yakni: Q.S. Ali Imran /3:195; Q.S.an-Nisa/4:124;
Q.S.an-Nahl/16:97. Ketiganya mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal
dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual
maupun karier profesional, tidak mesti didominasi oleh satu jenis kelamin saja.
Karena adanya implementasi yang
salah dari ajaran agama tersebut yang di sebabkan oleh pengaruh faktor sejarah,
lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat didalam masyarakat, sehingga
menimbulkam sikap dan prilaku individual yang secara turun-temurun menentukan
status kaum perempuan dan ketimpangan Gender tersebut. Hal inilah yang kemudian
menimbulkan mitos-mitos salah yang disebarkan melalui nilai-nilai dan
tafsir-tafsir ajaran agama yang keliru mengenai keunggulan kaum lelaki dan
melemahkan kaum perempuan.
Adapun pandangan dasar atau
mitos-mitos yang menyebabkan munculnya ketidakadilan terhadap perempuan adalah
:
a.
Keyakinan
bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sehingga perempuan
dianggap sebagai mahluk kedua yang tidak akan mungkin ada tanpa kehadiran
laki-laki. karenanya keberadaan perempuan hanya sebagai pelengkap dan
diciptakan hanya untuk tunduk di bawah kekuasaan laki-laki.
b.
Keyakinan
bahwa perempuan sebagai sumber dari terusirnya manusia (laki-laki) dari surga,
sehingga perempuan dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik, bahkan lebih
jauh lagi perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka
Bias gender yang mengakibatkan
kesalahpahaman terhadap ajaran Islam terkait pula dengan hal-hal lain seperti:
Pembakuan Tanda Huruf, Tanda Baca dan Qira’ah, Pengertian Kosa Kata (Mufradat),
Penetapan Rujukan Kata Ganti (damir), Penetapan Arti Huruf ‘Atf, Bias Dalam
Struktur Bahasa Arab, Bias Dalam Terjemahan Qur’an, Bias Dalam Metode Tafsir,
Pengaruh Riwayat Isra’iliyyat, serta bias dalam Pembukuan maupun Pembakuan
Kitab-kitab Fikih. (Nasaruddin Umar, 2002).
Al-Qur’an tidak mengajarkan
diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia. Dihadapan Allah SWT
lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama. Oleh karena itu
pandangan-pandangan yang menyudutkan posisi perempuan sudah selayaknya diubah,
karena Qur’an selalu menyerukan keadilan (Q.S.al-Nahl/16:90); keamanan dan
ketentraman (Q.S. an-Nisa/4:58); mengutamakan kebaikan dan mencegah kejahatan
(Q.S.Ali Imran/3:104) Ayat-ayat inilah yang dijadikan sebagai maqasid
al-syari’ah atau tujuan-tujuan utama syariat. Jika ada penafsiran yang
tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia, maka
penafsiran itu harus ditinjau kembali.
3. Gender sebagai Kerangka
Analisis
Gender merupakan
analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki dan
perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter.
Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan
laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam
masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya
ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja,
yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan,
maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar
kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran
sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat
mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai
segmen kehidupan sosial.
Perbedaan
jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara
permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender
adalah perbedaaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara
sosial dibentuk. Perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses
sosial dan budaya yang panjang. Misalnya seperti apa yang telah kita ketahui
bahwa perempuan dikenal sebagai sosok yang lemah lembut, emosional, dan keibuan
sehingga biasa disebut bersifat feminin. Sementara laki-laki dianggap kuat,
rasional, jantan dan perkasa dan disebut bersifat maskulin.
Pada
hakikatnya ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat
dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang memiliki sifat emosional dan lemah
lembut. Dan sebaliknya, ada pula wanita yang kuat, rasional dan perkasa. Oleh
karena itu gender dapat berubah dari individu ke individu yang lain, dari waktu
ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkan dari kelas sosial yang satu ke kelas
sosial yang lain. Sementara jenis kelamin yang biologis akan tetap dan tidak
berubah.
Gender tidak bersifat biologis,
melainkan dikontruksikan secara sosial. Karena gender tidak dibawa sejak lahir,
melainkan dipelajari melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat berubah.
Dalam berbagai masyarakat atau kalangan tertentu dapat kita jumpai nilai dan
aturan agama ataupun adat kebiasaaan yang dapat mendukung dan bahkan melarang
keikutsertaan anak perempuan dalam pendidikan formal, sebagai akibat
ketidaksamaan kesempatan demikian maka dalam banyak masyarakat dapat dijumpai
ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan formal.
Gender adalah pandangan atau
keyakinan yang dibentuk masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang
perempuan atau laki-laki bertingkah laku maupun berpikir. Misalnya Pandangan
bahwa seorang perempuan ideal harus pandai memasak, pandai merawat diri,
lemah-lembut, atau keyakinan bahwa perempuan adalah mahluk yang sensitif,
emosional, selalu memakai perasaan. Sebaliknya seorang laki-laki sering
dilukiskan berjiwa pemimpin, pelindung, kepala rumah-tangga, rasional, tegas
dan sebagainya. Singkatnya, gender adalah jenis kelamin sosial yang dibuat
masyarakat, yang belum tentu benar. Berbeda dengan Seks yang merupakan jenis
kelamin biologis ciptaan Tuhan, seperti perempuan memiliki vagina, payudara,
rahim, bisa melahirkan dan menyusui sementara laki-laki memiliki jakun, penis,
dan sperma, yang sudah ada sejak dahulu kala.
Ketika gender membahas
kesetaraan laki-kali dan perempuan, maka gerakan kaum perempuan yang
memperjuangkan kesetaraan tersebut sering disebut dengan gerakan feminisme.
Pada dasarnya, feminisme adalah paham yang beragam, bersaing dan bahkan
bertentangan dengan teori-teori sosial, gerakan politik dan falsafah moral.
Kebanyakan paham ini dimotivasi dan difokuskan perhatiannya pada pengalaman
perempuan, khususnya dalam istilah-istilah ketidakadilan sosial, politik dan
ekonomi.
Salah satu tipe utama dari
feminisme secara institusional, difokuskan pada pembatasan atau pemberantasan
ketidakadilan gender untuk mempromosikan berbagai hak, kepentingan dan isu-isu
kaum perempuan dalam masyarakat. Tipe lainnya yang berlawanan dengan feminisme
modern, -dengan akar sejarahnya yang mendalam-, memfokuskan pada pencapaian dan
penegakan hak keadilan oleh dan untuk perempuan, dengan dihadap-hadapkan dengan
laki-laki, untuk mempromosikan kesamaan hak, kepentingan dan isu-isu menurut
pertimbangan gender. Jadi, seperti halnya suatu ideologi, gerakan politik atau
filsafat manapun, tidak pernah didapati bentuk feminis yang tunggal dan
universal yang mewakili semua aktivis feminis.
Dalam menggemakan feminis
anarkhis, seperti Emma Goldman, telah berasumsi bahwa hirarkhi dalam bisnis, pemerintahan
dan semua organisasi perlu dirombak dengan desentralisasi ultra-demokrasi.
Sebagian feminis lainnya berpendapat bahwa pemimpin pusat (central leader)
dalam organisasi apapun berasal dari struktur kekeluargaan yang andosentrik.
Maka struktur seperti ini perlu dirombak. Oleh sebab itu, para sarjana tersebut
melihat bahwa esensi feminisme sebenarnya adalah isu seks dan gender.
4. Gerakan Perempuan dan
Kapitalisme
Para aktivis politik feminis
pada umumnya mengkampanyekan isu-isu seperti hak reproduksi, (termasuk hak yang
tidak terbatas untuk memilih aborsi, menghapus undang-undang yang membatasi
aborsi dan mendapatkan akses kontrasepsi), kekerasan dalam rumah tangga,
meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan keibuan (maternity leave), kesetaraan gaji,
pelecehan seksual (sexual
harassment), pelecehan di jalan, diskriminasi dan kekerasan seksual
(sexual violence).
Isu-isu ini dikaji dalam sudut pandang feminisme, termasuk isu-isu patriarkhi
dan penindasan.
Sekitar tahun 1960an dan
1970an, kebanyakan dari feminisme dan teori feminis telah disusun dan
difokuskan pada permasalahan yang dihadapi oleh wanita-wanita Barat, ras kulit
putih dan kelas menengah. Kemudian permasalahan-permasalahan tersebut diklaim
sebagai persoalan universal mewakili seluruh wanita. Sejak itu, banyak
teori-teori feminis yang menantang asumsi bahwa "perempuan" merupakan
kelompok individu-individu yang serba sama dengan kepentingan yang serupa. Para
aktivis feminis muncul dari beragam komunitas dan teori-teorinya mulai merambah
kepada lintas gender dengan berbagai identitas sosial lainnya, seperti ras dan
kelas (kasta). Banyak kalangan feminis saat ini berargumen bahwa feminisme
adalah gerakan yang muncul dari lapisan bawah yang berusaha melampaui
batasan-batasan yang didasarkan pada kelas sosial, ras, budaya dan agama, yang
secara kultural dikhususkan dan berbicara tentang isu-isu yang relevan dengan
wanita dalam sebuah masyarakat.
Gerakan perempuan tidak bisa
dilepaskan pada kepentngan kapitalisme. Secara etimologis, kenapa muncul
gerakan perempuan? Hari ini baru ada 3 fase:
Pertama, Fase Kolonialisme.
Mereka melakukan penjajahan pada kita karena menilai daerah kita ini
menguntungkan. Pada prinsipnya, mereka mencari keuntungan sebesar-besarnya
dengan melakukan penjajah yang mempunyai resource. Indonesia masuk fase
pertama dalam kapitalisme ini. Kita tahu kondisi perempuan pada era ini. Mereka
tidak punya akses untuk pendidikan, yang punya hanya kelompok priyayi. Ini
sebenarnya perebutan antara kelompok kapitalisme dan sosialisme. Gerakan
perempuan belum ada bahkan masyarakat lainnya pun tidak ada.
Kita waktu itu belum tahun
kenapa hasil bumi kita diserahka kepada Belanda? Mereka hanya tahu hasil bumi
mereka dibeli dengan harga murah. Baru kemudian muncul Budi Utomo sebagai gen
kritisisme. Mereka kebanyakan memiliki pendidikan cukup dan menyadari kenapa
hasil bumi mereka dibeli murah dibanding harga yang ada di dunia lainnya.
Generasi berikutnya ada Kartini. Setelah semakin massif dan memiliki kesadaran
nasionalisme, dan di NU ada Resolusi Jihad, Indonesia ini punya kita dan kita
adalah yang berhak mengatur negara kita. Ini sangat fundamental dan monumental
dalam memberika rasa nasionalisme hingga kemudian bisa merebut kemerdekaan
dengan Sukarno sebagai presiden pertama.
Saat itu masih ada pertarungan
sosialisme dan kapitalisme, sehingga Soekarno mengeluarkan NASAKOM sebagai
penengah dua gerakan tersebut. Sejak saat Soekarno inilah muncul kembali
gerakan perempuan. Seperti muslimat NU dan Gerwani. Namun, Gerwani dicap PKI.
Padahal sebenarnya untuk melawan kapitalisme dengan reformasi agraria yang
waktu itu sangat diperhitungkan dibanding gerakan lainnya. Karena
konsolidasinya sangat massif dan sudah ada yang duduk di Belanda sebagai
perwakilan perempuan Indonesia (Ibu Sujina, yang meninggal 2008).
Kemudian ternyata ada pemutusan
gerakan perempuan di era pasca-Soekarno. Dengan lahirnya Soeharto sebagai wakil
kapitalisme karena mereka merasa tidak bisa apa-apa ketika dipegang oleh
Soekarno. Dengan lahirnya skenario kudeta ‘65, dengan memunculkan isu bahwa
Soekarno adalah PKI.
Mereka (kaum kapitalis Barat)
mengadu domba antara gologan abangan dan agamis, dan banyak kiai yang
memerintahkan untuk membunuh orang PKI yang padahal banyak juga yang tidak
masuk PKI. Kemudian mewacanakan Soeharto sebagai pahlawan.
Kedua, Fase Developmentalisme.
Yang dalam kabinet Suharto berbentuk REPELITA dan melakukan MoU dengan IMF dan
Bank Dunia dalam bentuk bantuan yang sebenarnya adalah hutang. Di sinilah
kemudian Gerwani di PKI-kan dan juga melakukan pemberangusan terhadap gerakan
perempuan lainnnya.
Mulai saat inilah perempuan
takut melakukan gerakan. Karena ketakutan terhadap eksistensi Suharto. Di
sinilah kemudian muncul double borden dari dampak dimunculkan Darma
Wanita dan PKK dengan memberi wacana bahwa wanita puya tanggung jawab terhadap
suami sehingga membatasi gerakan perempuan. Akhirnya karena situasi ini tidak
efektif dengan munculnya banyak pejabat yang korup dan terbukalah kebobrokan
yang lainya.
Ketiga, Fase Neoliberal
(Globalisasi). Kelihatannya emang sangat fair, baik pejabat atau
orang biasa silahkan berperan dalam arus global ini. Siapa yang kuat dia akan
dapat. Tapi yang perlu diingat dalam system ini regulasi negara atau peran
negara dibatasi. Semua diserahkan kepada pasar. Kita tahu pemodal ini
sebenarnya siapa? Dan kita bisa membayangkan ketika kita dihadapkan dengan para
pemodal. Saat ini negara tidak bisa memberikan regulasi tepat dengan munculnya
mall-mall yang kemudian akan membunuh pasar tradisional. Akhirnya masih memberikan
kesempatan kapitalisme untuk mencari keutungan sebesar-besarnya. Jadi satu sisi
gender ini dibawa untuk pasar (komoditi) dengan banyaknya perempuan yang
dijadikan media iklan sebagai bentuk pemasaran barang-barang kapitalisme. Dan
persaingan terbuka ini mengikis rasa kekeluargaan di negara kita yang lama
mengikis rasa kebangsaan kita.
Maka kita harus punya proteksi
terhadap hal ini. Memang belum bisa menolaknnya dan juga tidak menerima
sepenuhnya. Polarisasi gerakan perempuan hanya berdasarkan isu, maka ini juga
berkaitan dengan founding, tidak kemudian mencoba sebenarnya kebutuhan
kepentingan perempuan seperti apa sih? Dan hari ini belum ada organ yang bisa
menyatukan itu. Ini adalah strategi bagaimana gerakan perempuan ini tidak
menjadi besar. Jadi, ketika berbicara peradaban tidak lepas dari masyarakat dan
ini berkait dengan kelompok dan kelompok ini juga berdasarkan keluarga yang
pointnya ada pada seorang ibu. Jadi ibu ini sebenarnya sebagai kunci. Jadi
apabila seorang perempuan hanya memiliki SDM yang rendah, akan mempengaruhi
generasi selanjutnya.
Tentang gerakan perempuan dalam
kapitalisme global ini, bagaimana caranya agar kita tidak terjebak dalam arus
itu? Ini perlu melalui pendekatan budaya Indonesia juga masuk dalam kehidupan
sehari-hari kita. Riil hari ini masyarakat cenderung taktis ini adalah strategi
kapitalis. Kalau kita bertanya, orang yang cantik dan ganteng seperti apa?
Jawabannya banyak yang tergantung, dan kita bisa menyimpulkan bahwa konsep ini
tidak terlepas dari system kapitalisme global yang tidak terlepas dari
produk-produk kapitalisme global.
Hampir semua aktifis perempuan
sudah mafhum, bahwa gerakan perempuan secara historis adalah fenomena umum dari
gejala maraknya berbagai gerakan sosial baru yang tumbuh sejak pertengahan abad
lalu. Ia adalah respon dari kebuntuan gerakan Kiri Lama yang terkurung dalam
politik kelas yang berakibat pada sikap acuh tak acuh terhadap realitas
penindasan di dalam sub-sub kelas, seperti yang menimpa komunitas kulit hitam
dan kaum perempuan.
Maklum saja, bagi Kiri Lama
hanya ada dua kelas, kelas kapitalis sebagai kelompok penindas, dan kelas
proletar sebagai kelompok tertindas. Dalam pandangan mereka (berbagi dengan
Liberalisme, Kiri Lama masih menganut keyakinan rasionalitas Pencerahan yang
meyakini “kemanusiaan yang sama dan universal”), kelas yang telah disebut
terakhir ini adalah satu-satunya agen universal yang menjadi motor perubahan.
Refleksi semacam ini lahir di
Eropa, sementara realitas peminggiran dan diskriminasi terhadap kaum perempuan adalah
fenomena yang hampir merata di belahan dunia. Justeru karena dalam setiap
refleksi bersifat partikular, parsial dan selalu ada jarak renggang dengan
kenyataan, maka setiap basis dasar pengandaian dari sebuah refleksi mesti
ditatap dengan mata kritis dan terbuka.
Apakah universalitas manusia
–yang acuh tak acuh terhadap realitas diskriminasi dan peminggiran berdasarkan
perbedaan budaya, agama, etnik, dan jenis kelamin, atau katakanlah perbedaan
konteks struktur dasar masyarakat– adalah pengandaian yang cukup memadai
sebagai basis gerakan kesetaraan kaum perempuan?
Di kalangan feminis progresif,
dalam struktur dasar masyarakat yang patriarkis, kesetaraan universal adalah
ilusi. Dan gerakan perempuan seyogyanya tidak lahir dari sebuah ilusi semacam
itu. Gerakan perempuan harus lahir dari basis dasar kenyataan sosial yang
konkrit. Kenyataan itu adalah perbedaan. Perbedaan budaya, mode ekonomi, nilai
religi, kekuatan fisik, aspek psikologis dan biologis, dan seterusnya. Bukan
perbedaan yang diingkari dan didiskriminasi, melainkan perbedaan yang dihargai
dan dalam konteks yang bersifat relasional.
Di dalam politik perbedaan,
butuh suatu strategi: politik ruang. Ruang yang didominasi oleh laki-laki tak
banyak yang bisa diharapkan, baik akomodasi suara maupun sumberdaya. Ini
realitas, bukan pengandaian. Berdasarkan alasan itu pula, kira-kira, dulu, Kiri
Lama yang sudah impoten dan lesu itu harus menggantikan pandangan kelas
universalnya dengan gerakan-gerakan sosial baru berbasis perbedaan. Dan Kiri
Lama bermetamorfosis menjadi Kiri Baru.
C. KELEMBAGAAN KOPRI
PMII menyadari bahwa anggotanya
perlu diberdayakan semaksimal mungkin. Selama ini kader putri PMII dirasa belum
banyak yang diberi kesempatan untuk memaksimalkan potensinya, padahal jumlah
anggota putri PMII terbilang banyak. Untuk itu, konstitusi PMII mensyaratkan keberadaan
kader putri dalam setiap tingkatan kepengurusan PMII diberi kuota minimal 1/3 (dari
PB sampai Rayon).
1. Landasan Normatif
Dalam Bab VII Anggaran Rumah
Tangga (ART) PMII tentang Kuota Kepengurusan, Pasal 20 dinyatakan, ayat (1)
Kepengurusan di setiap tingkat harus menempatkan anggota perempuan minimal 1/3
keseluruhan anggota pengurus; dan ayat (2) Setiap kegiatan PMII harus
menempatkan anggota perempuan minimal 1/3 dari keseluruhan anggota.
Penjelasan soal pemberdayaan
anggota perempuan PMII ada dalam bab VIII Pasal 21 ayat (1) Pemberdayaan
Perempuan PMII diwujudkan dengan pembentukan wadah perempuan yaitu KOPRI (Korp
PMII Putri), dan ayat (2) Wadah Perempuan tersebut diatas selanjutnya diataur
dalam Peraturan Organisasi (PO).
Adapun wadah pemberdayaan
anggota putri PMII ditegaskan dengan pembentukan lembaga khusus bernama Korp
PMII Putri (KOPRI) sebagaimana dalam Bab IX tentang Wadah Perempuan. Dalam
Pasal 22, ayat (1): Wadah perempuan bernama KOPRI; ayat (2) KOPRI adalah wadah
perempuan yang didirikan oleh kader-kader Putri PMII melalui Kelompok Kerja
sebagai keputusan Kongres PMII XIV; ayat (3) KOPRI didirikan pada 29 September
2003 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta dan merupakan kelanjutan sejarah dari
KOPRI yang didirikan pada 26 November 1967; dan ayat (4) KOPRI bersifat semi
otonom dalam hubungannya dengan PMII.
Struktur KOPRI sebagaimana struktur PMII, terdiri dari : PB KOPRI, PKC KOPRI dan PC KOPRI.
Struktur KOPRI sebagaimana struktur PMII, terdiri dari : PB KOPRI, PKC KOPRI dan PC KOPRI.
2. Visi dan Misi KOPRI
Visi KOPRI adalah Terciptanya
masyarakat yang berkeadilan berlandaskan kesetaraan dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan.
Sedangkan Misi KOPRI adalah
Mengideologisasikan nilai keadilan gender dan mengkonsolidasikan gerakan
perempuan di PMII untuk membangun masyarakat berkeadilan gender.
3. Perjalanan Sejarah KOPRI
Perjalanan sejarah organisasi
yang bernama Korps PMII Putri yang disingkat KOPRI mengalami proses yang
panjang dan dinamis. KOPRI berdiri pada kongres III PMII pada tanggal 7-11
Februari 1967 di Malang Jawa Timur dalam bentuk Departemen Keputrian dengan
berkedudukan di Surabaya Jawa Timur dan lahir bersamaan Mukernas II PMII di
Semarang Jawa Tengah pada tanggal 25 September 1976. Musyawarah Nasional
pertama Korp PMII Putri diselenggarakan pada kongres IV PMII 1970.
KOPRI dari masa ke masa
mengalami ketidakharmonisan karena minimnya koodinasi. Hanya pada saat Ali Masykur
Musa (1991-1994) yang memiliki keharmonisan dengan Ketua KOPRI-nya dari Lampung (Jauharoh
Haddad). KOPRI pada awalnya diposisikan menjadi badan otonom dari PMII namun
sekarang menjadi semi otonom yang mana pimpinan KOPRI dipilih atau ditunjuk
oleh Ketua Umum PB PMII. Konsekuensinya KOPRI harus berada di cabang-cabang di
setiap daerah.
KOPRI mengalami keputusan yang
pahit ketika status KOPRI dibubarkan melalui voting beda suara pada Kongres
KOPRI VII atau PMII XIII di Medan pada tahun 2000. Merasa pengalaman pahit itu
terasa, bahwa kader-kader perempuan PMII pasca konres di Medan mengalami
stagnasi yang berkepanjangan dan tidak menentu, oleh sebab itu kader-kader
perempuan PMII mengganggap perlu dibentuknya wadah kembali, kongres XIII di
Kutai Kertanegara Kalimantan Timur pada tanggal 16-21 April 2003 sebagai
momentum yang tepat untuk memprakarsai adanya wadah.
Maka, terbentuklah POKJA
perempuan dan kemudian lahirlah kembali KOPRI di Jakarta pada tanggal 29
September 2003 karena semakin tajam semangat kader perempuan PMII maka pada
kongres di Bogor tanggal 26-31 Mei tahun 2005 terjadi perbedaan kebutuhan maka
terjadi voting atas status KOPRI denga suara terbanyak menyatakan KOPRI adalah
Otonom sekaligus memilih ketua umum PB KOPRI secara langsung sehingga terpilih
dalam kongres sahabati Ai’ maryati Shalihah. Dalam Kongres PMII ke-16 di Batam,
Maret 2008, setelah melalui sidang dan voting yang menegangkan dan melelahkan
hingga subuh, memutuskan status KOPRI Semi Otonom.
4.
Ketua Umum KOPRI dari Masa ke Masa
Berikut ini daftar nama-nama
Ketua Umum PB KOPRI sepanjang masa (1967-sekarang).
1. Mahmudah Nahrowi 1967-1968
2. Tien Hartini 1968-1970
3. Ismi Maryam BA 1970
4. Zazilah Rahman BA 1971
5. Siti Fatimah Bsc 1972
6. Adiba Hamid 1973
7. Wus'ah Suralaga 1973-1977
8. Choirunnisa Yafishsham 1977
9. Fadilah Suralaga 1977-1981
10. Ida Farida 1981
11. Lilis Nurul Husna 1981-1984
12. Iis Kholila 1985-1988
13. Iriani Suaida 1988
14. Dra. Khofifah Indar parawansa 1988-1991
15. Dra. Ulha Soraya 1991
16. Jauharoh Haddad 1991-1994
17. Diana Mutiah 1994-1997
18. Luluk Nur Hamidah 1997-2000
19. Umi Wahyuni 2000-2003
20. Efri Nasution 2003
21. Winarti 2003-2005
22. Ai’ Maryati Shalihah 2005-2007
23.
Eem Marzu Hiz 2008-2010
D.
STRATEGI PENGEMBANGAN KOPRI
Korp PMII Putri, sebagai wadah
kader perempuan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meyakini perannya sebagai
khalifatullah fil ardl dan keberadaannya akan menjadi rahmat bagi segenap alam.
Karenanya keberadaan KOPRI harus bisa menjadi sesuatu yang bisa dirasakan kemanfaatannya
tidak hanya oleh kader-kader PMII baik laki-laki maupun perempuan tetapi juga
bagi seluruh Umat yang ada di bumi ini, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Relasi PMII dan KOPRI
sebenarnya tidak berbenturan, hanya secara gerakan, perempuan mempunyai wilayah
sendiri. Hanya koordinasi yang sifatnya tidak begitu prinsip. Yang penting
selama tidak bertentang ini harus tetap didukung. KOPRI menempatkan teori
gender hanya sebagai analisa saja agar kita tidak terbelenggu dengan budaya patriarkal
sehingga perempuan bisa menentukan gerakannya sesuai dengan kebutuhan perempuan
tersebut. Wacana gender sebagai alat saja bukan sebagai tujuan. Dan wacana
gender disesuaikan dengan wacana keislaman dan kearifan lokal.
Prosentase perempuan di setiap
Mapaba PMII ada 60%. Cukup banyak namun dalam pengkaderan kita belum mumpuni
mengggarapnya. Paling banter hanya bisa survive 5 kader di setiap
cabang. Karena kita akhir-akhir ini kehilangan sosok-sosok kepemipinan
perempuan di tingkat cabang, kota, dan kabupaten se-Jawa Tengah yang bisa
berkomunikasi dengan PB dan basis.
Tugas utama KOPRI PMII adalah
bagaimana mensinergikan kader perempuan PMII yang cukup banyak dengan wadah
yang berbeda-beda. Yakni, sesuai dengan local genius yang berbeda di
masing-masing cabang. Juga mensinergikan antara PB dan pengurus di bawahnya
(PKC, PC, PK dan PR).
1. Strategi Pengembangan
Internal
Strategi pengembangan
organisasi KOPRI adalah dengan membentuk KOPRI di masing-masing cabang ke
bawah. PKC PMII Jawa Tengah sudah mempeloporinya dengan mengadakan rembug
perempuan Jawa Tengah skelaigus mencoba memberikan instruksi ke seluruh cabang,
komisariat dan rayon untuk segera membentuk KOPRI.
Kader yang kuliah di basis
kampus agama atau orang pesantren pada awalnya memang mengalami konflik
terhadap wacana gender. Namun, kemudian mampu melakukan pembedahan tentang
gender dan disesuaikan dengan basic keilmuannya ternyata ayat-ayat yang
dipahami patriarkhi ternyata sangat memperjuangkan hak perempuan.
Strategi kaderisasi yang ditempuh
KOPRI adalah: (1) Ideologisasi KOPRI; (2) Penguatan institusi. Dalam Kongres
Bogor, KOPRI sebagai laboratorium gerakan sebagai institusi independent; (3)
Mempertegas posisi; (4) Penguatan intelektual; (5) Membentuk masyarakat
berkeadilan gender, dan (6) Konsolidasi gerakan. Seperti pertemuan hari ini
merupakan salah satu bentuk konsolidasi gerakan perempuan
Bagaimana system dan format
serta strategi kaderisasi yang direncanakan ke depan? Ada tiga hal yang hendak
saya sampaikan: (1) Hakikat pengkaderan; (2) Strategi pengembangan kaderisasi,
dan (3) System kaderisasi yang dibangun di level nasional.
Hakikat pengkaderan adalah kita
punya alasan kenapa pengkaderan harus dijalankan di setiap organisasi; (1)
Argumentasi Idealisme, diinterpretasikan melalui nilai-nilai yang harus selalu
dikonsumsi oleh kader; (2) Argumentasi Strategis; diimplementasikan dalam
pemberdayaan kader; (3) Argumnetasi Taktis; dengan tujuan memperbanyak kader.
Dalam konteks organisasi kaderisasi harus seimbang antara kualitas dan kuantitas;
(4) Argumentasi Pragmatis; karena adanya kepentingan dan persaingan kelompok;
(5) Argumentasi Administrative; karena adanya mandat organisasi.
Terdapat 3 pilar dalam
kaderisasi, yaitu: (1) Membentuk keyakinan kader; dalam konteks iman dan
idiologis; (2) Pengetahuan; diinterpratasikan melalui ilmu; dan (3) Semangat
gerakan; interpretasikan melalui skill.
Berbicara system kaderisasi
KOPRI maka penting juga membuat modul. Muncullah resources gerakan dalam konteks ini kita memasukkan system
kaderisasi KOPRI, baik formal, informal maupun nonformal.
Mengenai pelatihan gender kita
juga sangat sepakat, agar lebih tertata dan lebih banyak yang didapat oleh
kader perempuan. Apa yang belum digarap oleh PMII maka mari digarap melalui
KOPRI. Misalnya, pelatihan TOF (Training
of Fasilitator) tapi dengan menggunakan perspektif KOPRI.
Kita menawarkan bentuk
kaderisasi di KOPRI, kita memasukkan materi – materi dalam modul MAPABA, PKD,
PKL (studi gender dan institusi KOPRI).Di samping melalui pengkaderan formal di
tingkat PKC juga memberikan pengenalan untuk mensinkronkan yang terjadi
dicabang-cabang yang sifatnya pengayaan. Dengan PB PMII, sudah disepakati materi
KOPRI juga bisa masuk dalam kaderisasi informal.
Hasil negosiasi antara KOPRI dengan
PB PMII hari ini menemukan kesepakatan memasukkan materi KOPRI dalam kaderisasi
formal PMII. Ini bagian dari publikasi KOPRI ke anggota PMII hingga level
basis: cabang, komisariat dan rayon. Persoalan rekruitmen, persoalan legal atau
tidak legal menjadi penting. Sangat sah jika kita melakukan perekrutan tidak
formal. Jika kita melakukan rekrutment tersendiri kita harus pisah secara
administrasi dari PMII atau berdiri sendiri membuat organisasi sendiri.
Untuk peningkatan capacity
building di kalangan kader perempuan dan berbicara yang selama ini belum
dilakukan yang tentunya lebih berperspektif, maka keberadaan modul sangat
penting, seperti dalam folow-up Mapaba
ada materi Training gender, SAS dan Trainig leadership, kemudian follow-up pasca-PKD ada Pelatihan
Advokasi Gender dan Pelatihan Fasilitator, kemudian pasca-PKL ada ToT gender
dan Gender Budgeting.
2. Strategi Gerakan Eksternal
Dalam konteks kehidupan
kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan, keberadaan KOPRI diharapkan mampu
menjadi salah satu kelompok efektif yang aktif dalam memberikan tawaran-tawaran
gerakan untuk mengurangi perosalan-persoalan yang muncul di masyarakat,
misalnya persoalan HAM, Demokrasi, Globalisasi, Hukum, Pemerataan Ekonomi,
Kebudayaan, Keberagamaan dan Pluralisme, lingkungan dan yang paling khusus
adalan persoalan Gender. Isu Gender pada dasarnya menegaskan eksistensi
individu baik laki-laki maupun perempuan.
Dalam gender ditegaskan bahwa
setiap individu memiliki kemerdekaan untuk memilih dan menetukan nasibnya
sendiri. Dan wacana gender memiliki imbas yang sangat dahsyat bagi perempuan.
Sebagai contoh, kesadaran yang muncul dari pewacanaan gender yang ditangkap
mentah-mentah membawa efek pada “tersedianya” perempuan keluar rumah dan
bekerja di pabrik-pabrik. Perempuan bekerja (sebagai buruh pabrik) dianggap
sebagai keberhasilan dari pewacanaan gender.
Padahal apa yang dilakukan
perempuan di luar rumah pada dasarnya sama dengan yang mereka kerjakan didalam
rumah (kerja-kerja yang khas perempuan seperti memasang kancing baju, menjahit,
dan sejenisnya). Artinya, hanya memindahkan kerja domestik dari dalam rumah ke
pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan. Dan yang lebih parah, tingkat
“penderitaan” yang diterima perempuan di luar rumah jauh lebih kejam dari dalam
rumah dalam hal tertentu. Sedangkan di satu pihak yang lain, masyarakat masih
juga menyimpan stigma buruk terhadap perempuan yang bekerja khususnya yang
kerja malam atau sudah bersuami.
Apa yang ditulis di atas bukan
berarti mewajibkan kita untuk mencurigai dengan membabi buta terhadap isu-isu
seperti demokrasi dan HAM serta Gender. Tetapi kita harus sadar bahwa isu-isu
yang kita anggap sebagai nilai-nilai yang harus kita perjuangkan itu ternyata
memiliki efek yang juga merugikan tidak hanya bagi kita sebagai warga negara
tetapi juga sebagai perempuan.
KOPRI melihat bahwa gender
sebagai sebuah alat analisis mampu menjelaskan dengan lebih gamblang atas
prosse-proses diskriminasi sosial dan hukum, subordinasi, pelabelan negatif,
kekerasan fisik dan nonfisik, marjinalisasi ekonomi, dan beban ganda yang
selama ini dialami perempuan. Ketidak adilan gender yang dialami perempuan
tersebut menjelma dalam pelbagai bentuk seperti kebijakan-kebijakan pemerintah
dalam segenap bidang, tradisi dan tafsir agama yang misoginis serta
budaya-budaya populer yang merasuk lebih dalam dari agama ke dalam
individu-individu.
Untuk itu, KOPRI akan selalu
melakukan pembacaan kritis dan memiliki sensitifitas Gender dalam mensikapi
produk-produk kebijkaan pemerintah dengan memberikan alternatif-alternatif
berdasarkan tawaran gagasan yang lebih mengakar dan relevan dengan kepentingan
masyarakat khususnya perempuan. Dan pembacaan yang kritis adalah pembacaan yang
bersifat multidimensi dan berkelanjutan, karenanya KOPRI membutuhkan dukungan
moral, politik sekaligus intelekutal khususnya dari PMII sebagai induk gerakan
agar setiap pilihan gerakan yang diambil KOPRI nantinya akan saling menguatkan
dan sinergis dengan grand design yang telah dirancang PMII dalam melihat
persoalan masyarakat, negara dan dunia.
E. PENUTUP
0 Response to "STUDI GENDER DAN KELEMBAGAAN KOPRI"
Posting Komentar