Akhir-akhir ini masyarakat di ramaikan dengan pagelaran Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Bupati dan Wakil Bupati Bekasi. Padahal hari pelaksanaan pemilihan masih jauh. Akan tetapi, hiruk pikuk dan antusiasme masyarakat sudah terasa ke permukaan. Berbagai gossip muncul ke tengah masyarakat, tentang siapa yang bakal menjadi Bupati berikutnya. Apakah Incumbent mencalonkan diri kembali? Ada berapa yang bakal calon? Siapa dan siapa? Begitu kira-kira obrolan-obrolan yang menjadi topik hangat di tengah masyarakat. Rasa penasaran kian hari kian terasa menyelimuti perasaan masyarakat. Para aktor politik, lambat laun mulai “nongol” ke permukaan untuk mendapatkan simpati dan legitimasi masyarakat.
Beberapa bulan ini, ajang itu menjadi primadona
diskusi dan kongres (kongko ora beres-beres). Mulai dari kalangan borjuis
hingga level grass root. Berbagai isu siapa yang bakal calon semakin
hari semakin hangat. Ada dari calon incumbent, dari kalangan muda , kalangan
pengusaha hingga kaum hawa. Beragam
latar belakang, pendidikan, prestasi hingga track
record bakal calon menambah “panas” dinamika politik lokal (Kabupaten
Bekasi). Mereka mencoba “mengadu nasib” untuk menjadi orang nomor satu di
Kabupaten Bekasi.
Ada apa dengan “Bupati”? sehingga banyak yang ingin
menjadi Bupati. Adalah Potensi yang ada dalam daerah tersebut yang menjadi
bidikan para calon tersebut. Selain daripada itu niat mengabdi dan ingin
membangun tanah kelahiran menjadi lebih baik merupakan tujuan yang ada dalam
dada mereka. Tujuan inilah yang sering didengungkan dihadapan masyarakat, baik
lewat lisan atau spanduk-spanduk. Bukan hanya itu menjadi Bupati juga sebuah
prestasi dan prestise.
Spanduk dan baliho bakal calon mewarnai jalanan
protokol, jalan kampong sampai gang-gang pemukiman warga. Tim sukses dan para
kader sudah mulai mempersiapkan diri untuk meloloskan “bakal calon” menjadi
“calon”.
Konstalasi politik Kabupaten Bekasi makin hari makin
memanas. Mulai dari perang urat saraf (psy
war) di media sosial, tentang berbagai persoalan kedaerahan seperti kinerja
Pemerintahan hari ini, kebijakan pembangunan sampai persoalan hukum semisal
kasus korupsi. Media sosial menjadi sarana adu argumen, dengan tema besar
“PILKADA Kabupaten Bekasi”. Manuver
politik semakin gencar dikibarkan , baik oleh calon itu sendiri maupun oleh tim
sukses(kader). PILKADA dan siapa pemenangnya? Menjadi “tajuk utama”
Obrolan-obrolan di warung-warung kopi, pos ronda hingga pangkalan ojek.
Kini, riungan warung kopi saja tak lepas dari obrolan
politik. Acara atau kegiatan di masyarakat, seperti pengajian sekalipun sudah
“dibumbui” politik dengan hadirnya bakal calon Bupati. Forum-forum kumpulan
warga makin meningkat intensitasnya, agendanya jelas konsolidasi politik ke
masyarakat untuk mensosialisasikan diri demi meraih simpati. Kegiatan –kegiatan
tersebut tentu tidak gratis, maksudnya dibutuhkan cost politic untuk terjun ke masyarakat meski ‘dibungkus’ dengan
sebutan silaturrahim. Rasanya ‘hampa’ , jika riungan warga tanpa adanya kopi,
rokok, makan dan lain-lain, apalagi dalam momentum pilkada. Belum lagi uang es,
uang rokok yang biasanya dibagikan dalam momentum sosialisasi tersebut.
Kiranya rutinitas seperti ini sudah mengakar dalam
tradisi masyarakat, terutama dalam momentum pemilihan langsung, Baik dari Pilpres,
Pilkada dan Pilkades. Sepertinya ada keengganan(apatisme) untuk memilih jika
tak ada ‘pancingan’ dari para calon maupun pendukung calon. Budaya money
politics dan segala ragamnya sepertinya sudah mendarah daging (Internalized
value) dalam kehidupan berpolitik masyarakat kita, terutama masyarakat akar
rumput(grass root). Sebagian masyarakat
kita sudah terjangkit virus pragmatis. Mereka masih tergiur pada kebahagian
sesaat, dengan menerima suap dari calon pemilu. Sehingga tidak usah heran jika
pemimpin yang terpilih kurang, bahkan tidak mempedulikan nasib dirinya.
Meskipun gagasan tentang parahnya akibat politik uang
lama disuarakan. Sampai saat ini belum bisa menyentuh kesadaran masyarakat,
terutama di pedesaan. Mereka masih suka menerima suap. Sebenarnya saya tidak
heran dengan fakta ini, mengingat kondisi ekonomi masyarakat di pelosok
rata-rata mereka ada orang tidak punya. Namun jika ini dibiarkan akan semakin
membuka peluang lahirnya pemimpin yang apatis dan tidak peduli pada kepentingan
masyarakat. bukan hanya itu! Ini terjadi karena ulah para pemimpin sebelumnya,
karena setelah mereka terpilih, mereka “lupa” akan janji-janjinya. Bahkan bukan
perubahan ke arah lebih baik yang dirasakan justru sebaliknya. Sehingga
masyarakat merasa bosan dan jenuh dengan yang namanya ‘visi dan misi’. Akhirnya
muncullah filosofi, Ada duit gue pilih gak ada duit gak usah pilih.
Lalu, lahirnya sebuah adagium antara PILKADA DAN PIL
KB(Keluarga berencana). Pil KB jika lupa, akan ‘jadi’, Dan jika PILKADA jika
jadi, akan “lupa”. Jadi, seolah-olah masyarakat tak peduli jika kepemimpinan
mereka akan seperti apa kedepan. Acuh tak acuh meskipun terjadi korupsi dan
ketimpangan. Karena mereka merasa puas dengan “pemberian” saat itu. Kegandrungan
terhadap kekuasaan dan haus akan jabatan semakin menjalar ke seluruh lapisan
masyarakat, namun banyak pula tak diimbangi SDM yang mumpuni dan kedewasaan
berpolitik.
Spanduk-spanduk, banner, stiker bakal calon menjadi
pemandangan jalanan dan gang-gang pemukiman warga. Para bakal calon seperti
‘selebritis dadakan’ yang terus dibicarakan dan terkenal lantaran fotonya
terpampang dimana-mana. Persaingan dan manuver-manuver politik semakin menggema
ke permukaan. Tak jarang sering terjadi konflik – konflik dan gesekan kecil,
khususnya di kalangan bawah. Banyak fenomena unik dan cukup menyedihkan yang
terjadi di akibatkan Pemilihan Kepala Daerah ini. Perbedaan ‘dukungan’ diantara
masyarakat menyebabkan harmonisasi kehidupan sosial-masyarakat sedikit
ternodai. Antar tetangga ada yang kurang akur, tidak saling menyapa lantaran
berbeda pilihan dan dukungan.
Sampai ada konflik diantara ibu-ibu majelis ta’lim
lantaran berbeda dukungan. Hingga ada berita mencengangkan yaitu hampir
cerainya pasangan suami-istri
diakibatkan perbedaan dukungan calon. Itulah realita yang terjadi yang
disebabkan ajang Pilkada. Pilkada memang sangat rentan konflik, karena ruang
lingkup wilayahnya Kabupaten. Jadi persaingan dan perbedaan akan sangat
terlihat. Maka dari itu di perlukan kedewasaan dan etika berpolitik yang
memegang teguh nilai-nilai persatuan demi eksisitensi kehidupan
sosial-masyarakat.
Terlebih di saat memasuki bulan ramadhan, banyak cara
dilakukan untuk menarik ‘simpati’ masyarakat. Buka puasa bersama, tarling
(tarawih keliling) hingga santunan anak yatim dan dhuafa dilakoni demi mencari
dukungan dan simpati warga. Keakraban dan kedekatan para calon pemimpin sungguh
terasa dan dapat dirasakan oleh masyarakat, khususnya kalangan bawah. Dan hati
kecil masyarakat pun berharap, “kedekatan ini bisa berlanjut ketika mereka
sudah menjadi Bupati terpilih”. Artinya tidak hanya ketika ada ‘hajat’ saja
mereka mendatangi masyarakat, tatkala mereka sudah ‘jadi’ pun harus seperti
itu. bersilaturahmi dan berinteraksi
tentang aspirasi dan problematika masyarakat untuk segera di tangani dan
diselesaikan.
Selain daripada itu di akhir-akhir ramadhan menjelang
hari raya suara-suara masyarakat kepada sang calon semakin gencar diteriakan.
Tak lain, dan tak bukan tentu mengharapkan sebuah ‘parcel’ dan sejenisnya dari
para calon. THR, ‘Amplop’ dan sembako menjadi tuntutan yang wajib ada dan
mereka mengancam tidak akan memilih jika menjelang lebaran ini tidak
mendapatkan parcel. Sebuah cermin dan karakteristik sebagian masyarakat kita
ditengah hiruk pikuk pemilihan.
Meskipun di bulan suci ramadhan dan menjelang idul
fitri peta persaingan dan gesekan antar pendukung sulit dibendung. Apalagi
waktu pelaksanaan pemilihan -- Hari H -- semakin dekat. Seperti ada ‘perang
dingin’ di tengah kehidupan masyarakat. Sejatinya, momentum bulan Suci Ramadhan
dan Idul Fitri dijadikan ‘jembatan’ dalam menempa diri untuk berakhlakul
karimah, tak terkecuali dalam berpolitik. Sebagai masyarakat yang beragama,
sangatlah wajar bila nilai-nilai etika dan moral diejawantahkan dalam semua
aspek kehidupan.
Harus ada proses edukasi berkala tentang kesadaran berpolitik yang sehat dan
menjunjung tinggi nilai-nilai etika berpolitik. Proses penyadaran itu berawal
dari diri sendiri, melalui pemaknaan dan internalisasi dari nilai-nilai puasa
dan ke-fitri-an ke dalam jiwa. Seharusnya Ramadhan ini dijadikan sebagai
modal sosial untuk transformasi individual-personal menuju kesalehan sosial. demi meretaskan jalan untuk menyongsong masa
depan bangsa yang adil, sejahtera,
bermartabat dan diridhai Allah Subhanahu Wata’ala. Baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafûr.
Ditengah hiruk-pikuk
PILKADA
Di Pertengahan Bulan
Suci Ramadhan
Oleh : Adiyanto S. Wijaya
(Komunitas Diskusi Deprokan Pergerakan/D’Depe)
banyak fenomena tak biasa yang muncul kepermukaan dari mereka yang mengemban visi berbau "MODUS" dari takjil "bersinar" ampe urusan lahan parkir kampus. Genderang hiruk pikuk siyasah politik sudah mulai bergentayangan mengisi hingar bingar lalu lalang panggung Demokrasi.
BalasHapus"ojo Gumunan Lan kagetan" (Sunan Gunung Jati)