HARI SANTRI

HARI SANTRI

PILKADA; Jembatan Rakyat Menuju Sejahtera

blogger templates

Akhir-akhir ini masyarakat di ramaikan dengan pagelaran Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Bupati dan Wakil Bupati Bekasi. Padahal hari pelaksanaan pemilihan masih jauh. Akan tetapi, hiruk pikuk dan antusiasme masyarakat sudah terasa ke permukaan. Berbagai gossip muncul ke tengah masyarakat, tentang siapa yang bakal menjadi Bupati berikutnya. Apakah Incumbent mencalonkan diri kembali? Ada berapa yang bakal calon? Siapa dan siapa? Begitu kira-kira obrolan-obrolan yang menjadi topik hangat di tengah masyarakat. Rasa penasaran kian hari kian terasa menyelimuti perasaan masyarakat. Para aktor politik, lambat laun mulai “nongol” ke permukaan untuk mendapatkan simpati dan legitimasi masyarakat.

Beberapa bulan ini, ajang itu menjadi primadona diskusi dan kongres (kongko ora beres-beres). Mulai dari kalangan borjuis hingga level grass root. Berbagai isu siapa yang bakal calon semakin hari semakin hangat. Ada dari calon incumbent, dari kalangan muda , kalangan pengusaha hingga kaum hawa.  Beragam latar belakang, pendidikan, prestasi hingga track record bakal calon menambah “panas” dinamika politik lokal (Kabupaten Bekasi). Mereka mencoba “mengadu nasib” untuk menjadi orang nomor satu di Kabupaten Bekasi.

Ada apa dengan “Bupati”? sehingga banyak yang ingin menjadi Bupati. Adalah Potensi yang ada dalam daerah tersebut yang menjadi bidikan para calon tersebut. Selain daripada itu niat mengabdi dan ingin membangun tanah kelahiran menjadi lebih baik merupakan tujuan yang ada dalam dada mereka. Tujuan inilah yang sering didengungkan dihadapan masyarakat, baik lewat lisan atau spanduk-spanduk. Bukan hanya itu menjadi Bupati juga sebuah prestasi dan prestise.

Spanduk dan baliho bakal calon mewarnai jalanan protokol, jalan kampong sampai gang-gang pemukiman warga. Tim sukses dan para kader sudah mulai mempersiapkan diri untuk meloloskan “bakal calon” menjadi “calon”.
Konstalasi politik Kabupaten Bekasi makin hari makin memanas. Mulai dari perang urat saraf (psy war) di media sosial, tentang berbagai persoalan kedaerahan seperti kinerja Pemerintahan hari ini, kebijakan pembangunan sampai persoalan hukum semisal kasus korupsi. Media sosial menjadi sarana adu argumen, dengan tema besar “PILKADA Kabupaten Bekasi”.  Manuver politik semakin gencar dikibarkan , baik oleh calon itu sendiri maupun oleh tim sukses(kader). PILKADA dan siapa pemenangnya? Menjadi “tajuk utama” Obrolan-obrolan di warung-warung kopi, pos ronda hingga pangkalan ojek.

Kini, riungan warung kopi saja tak lepas dari obrolan politik. Acara atau kegiatan di masyarakat, seperti pengajian sekalipun sudah “dibumbui” politik dengan hadirnya bakal calon Bupati. Forum-forum kumpulan warga makin meningkat intensitasnya, agendanya jelas konsolidasi politik ke masyarakat untuk mensosialisasikan diri demi meraih simpati. Kegiatan –kegiatan tersebut tentu tidak gratis, maksudnya dibutuhkan cost politic untuk terjun ke masyarakat meski ‘dibungkus’ dengan sebutan silaturrahim. Rasanya ‘hampa’ , jika riungan warga tanpa adanya kopi, rokok, makan dan lain-lain, apalagi dalam momentum pilkada. Belum lagi uang es, uang rokok yang biasanya dibagikan dalam momentum sosialisasi tersebut.

Kiranya rutinitas seperti ini sudah mengakar dalam tradisi masyarakat, terutama dalam momentum pemilihan langsung, Baik dari Pilpres, Pilkada dan Pilkades. Sepertinya ada keengganan(apatisme) untuk memilih jika tak ada ‘pancingan’ dari para calon maupun pendukung calon. Budaya money politics dan segala ragamnya sepertinya sudah mendarah daging (Internalized value) dalam kehidupan berpolitik masyarakat kita, terutama masyarakat akar rumput(grass root). Sebagian masyarakat kita sudah terjangkit virus pragmatis. Mereka masih tergiur pada kebahagian sesaat, dengan menerima suap dari calon pemilu. Sehingga tidak usah heran jika pemimpin yang terpilih kurang, bahkan tidak mempedulikan nasib dirinya.

Meskipun gagasan tentang parahnya akibat politik uang lama disuarakan. Sampai saat ini belum bisa menyentuh kesadaran masyarakat, terutama di pedesaan. Mereka masih suka menerima suap. Sebenarnya saya tidak heran dengan fakta ini, mengingat kondisi ekonomi masyarakat di pelosok rata-rata mereka ada orang tidak punya. Namun jika ini dibiarkan akan semakin membuka peluang lahirnya pemimpin yang apatis dan tidak peduli pada kepentingan masyarakat. bukan hanya itu! Ini terjadi karena ulah para pemimpin sebelumnya, karena setelah mereka terpilih, mereka “lupa” akan janji-janjinya. Bahkan bukan perubahan ke arah lebih baik yang dirasakan justru sebaliknya. Sehingga masyarakat merasa bosan dan jenuh dengan yang namanya ‘visi dan misi’. Akhirnya muncullah filosofi, Ada duit gue pilih gak ada duit gak usah pilih.

 Lalu, lahirnya sebuah adagium antara PILKADA DAN PIL KB(Keluarga berencana). Pil KB jika lupa, akan ‘jadi’, Dan jika PILKADA jika jadi, akan “lupa”. Jadi, seolah-olah masyarakat tak peduli jika kepemimpinan mereka akan seperti apa kedepan. Acuh tak acuh meskipun terjadi korupsi dan ketimpangan. Karena mereka merasa puas dengan “pemberian” saat itu. Kegandrungan terhadap kekuasaan dan haus akan jabatan semakin menjalar ke seluruh lapisan masyarakat, namun banyak pula tak diimbangi SDM yang mumpuni dan kedewasaan berpolitik.

Spanduk-spanduk, banner, stiker bakal calon menjadi pemandangan jalanan dan gang-gang pemukiman warga. Para bakal calon seperti ‘selebritis dadakan’ yang terus dibicarakan dan terkenal lantaran fotonya terpampang dimana-mana. Persaingan dan manuver-manuver politik semakin menggema ke permukaan. Tak jarang sering terjadi konflik – konflik dan gesekan kecil, khususnya di kalangan bawah. Banyak fenomena unik dan cukup menyedihkan yang terjadi di akibatkan Pemilihan Kepala Daerah ini. Perbedaan ‘dukungan’ diantara masyarakat menyebabkan harmonisasi kehidupan sosial-masyarakat sedikit ternodai. Antar tetangga ada yang kurang akur, tidak saling menyapa lantaran berbeda pilihan dan dukungan.

Sampai ada konflik diantara ibu-ibu majelis ta’lim lantaran berbeda dukungan. Hingga ada berita mencengangkan yaitu hampir cerainya  pasangan suami-istri diakibatkan perbedaan dukungan calon. Itulah realita yang terjadi yang disebabkan ajang Pilkada. Pilkada memang sangat rentan konflik, karena ruang lingkup wilayahnya Kabupaten. Jadi persaingan dan perbedaan akan sangat terlihat. Maka dari itu di perlukan kedewasaan dan etika berpolitik yang memegang teguh nilai-nilai persatuan demi eksisitensi kehidupan sosial-masyarakat.
Terlebih di saat memasuki bulan ramadhan, banyak cara dilakukan untuk menarik ‘simpati’ masyarakat. Buka puasa bersama, tarling (tarawih keliling) hingga santunan anak yatim dan dhuafa dilakoni demi mencari dukungan dan simpati warga. Keakraban dan kedekatan para calon pemimpin sungguh terasa dan dapat dirasakan oleh masyarakat, khususnya kalangan bawah. Dan hati kecil masyarakat pun berharap, “kedekatan ini bisa berlanjut ketika mereka sudah menjadi Bupati terpilih”. Artinya tidak hanya ketika ada ‘hajat’ saja mereka mendatangi masyarakat, tatkala mereka sudah ‘jadi’ pun harus seperti itu. bersilaturahmi dan  berinteraksi tentang aspirasi dan problematika masyarakat untuk segera di tangani dan diselesaikan.

Selain daripada itu di akhir-akhir ramadhan menjelang hari raya suara-suara masyarakat kepada sang calon semakin gencar diteriakan. Tak lain, dan tak bukan tentu mengharapkan sebuah ‘parcel’ dan sejenisnya dari para calon. THR, ‘Amplop’ dan sembako menjadi tuntutan yang wajib ada dan mereka mengancam tidak akan memilih jika menjelang lebaran ini tidak mendapatkan parcel. Sebuah cermin dan karakteristik sebagian masyarakat kita ditengah hiruk pikuk pemilihan.

Meskipun di bulan suci ramadhan dan menjelang idul fitri peta persaingan dan gesekan antar pendukung sulit dibendung. Apalagi waktu pelaksanaan pemilihan -- Hari H -- semakin dekat. Seperti ada ‘perang dingin’ di tengah kehidupan masyarakat. Sejatinya, momentum bulan Suci Ramadhan dan Idul Fitri dijadikan ‘jembatan’ dalam menempa diri untuk berakhlakul karimah, tak terkecuali dalam berpolitik. Sebagai masyarakat yang beragama, sangatlah wajar bila nilai-nilai etika dan moral diejawantahkan dalam semua aspek kehidupan.

Harus ada proses edukasi berkala tentang  kesadaran berpolitik yang sehat dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika berpolitik. Proses penyadaran itu berawal dari diri sendiri, melalui pemaknaan dan internalisasi dari nilai-nilai puasa dan ke-fitri-an ke dalam jiwa. Seharusnya Ramadhan ini dijadikan sebagai modal sosial untuk transformasi individual-personal menuju kesalehan sosial. demi meretaskan jalan untuk menyongsong masa depan bangsa  yang adil, sejahtera, bermartabat dan diridhai Allah Subhanahu Wata’ala. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr.

Ditengah hiruk-pikuk PILKADA
Di Pertengahan Bulan Suci Ramadhan

                                                      
 
 Oleh    : Adiyanto S. Wijaya
(Komunitas Diskusi Deprokan Pergerakan/D’Depe)
 

1 Response to "PILKADA; Jembatan Rakyat Menuju Sejahtera"

  1. banyak fenomena tak biasa yang muncul kepermukaan dari mereka yang mengemban visi berbau "MODUS" dari takjil "bersinar" ampe urusan lahan parkir kampus. Genderang hiruk pikuk siyasah politik sudah mulai bergentayangan mengisi hingar bingar lalu lalang panggung Demokrasi.

    "ojo Gumunan Lan kagetan" (Sunan Gunung Jati)

    BalasHapus