Pasal 33 ayat 3 UUD 1945
“Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Ketika kita berbicara pasal di atas pasti akan merasa
geram, karena hari ini pada kenyataannya tujuan dari pasal di atas sama sekali
tidak berjalan. Dimana kekayaan alam yang ada sama sekali tidak berbanding
lurus dengan keadaan kehidupan masyarakat.
Jangan jauh-jauh ngomongin Indonesia deh, terlalu luas,
di ruang lingkup kita aja dulu, di Kabupaten Bekasi kota yang sama-sama kita
cintai dan kota dengan segudang permasalahan ini. Kita semua tahu bagaimana
kekayan yang kita punya sebenarnya sangat luar biasa, di Utara Bekasi kita
punya ladang Migas yang sampai hari ini di Exploitasi tiada henti, bahkan
merembet sampai di daerah Pebayuran yang kini sudah akan mulai di exploitasi
kekayaan alamnya, dan di selatan Bekasi kita punya ladang Industri yang sangat
luas, bahkan menjadi yang terluas di Asean.
Luar biasa bukan apa yang kita punya? Seharusnya ni, dan
sekali lagi seharusnya, kita tidak akan kesulitan ketika berbicara tentang
perekonomian masyarakat kita, jika Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 di praktekan di
sini. Tapi sayang, dengan segala kekayaan alam yang kita punya sama sekali
tidak mampu mendongkrak perekonomian masyarakat. Pemerintah seolah tidak
memikirkan dan memperdulikan kesejahteraan masyarakat.
Di selatan saudara kita hanya menjadi penonton sejatinya
kota Industri dan bahkan di utara terjadi “anjingisasi” kepada saudara kita,
dimana mereka hanya menjadi kuli kasar, menjadi budak di daerah sendiri. Itulah
yang menjadi penyebab banyak masyarakat di kabupaten Bekasi hidup di bawah
garis kemiskinan, padahal mereka hidup di tengah sumber Migas yang melimpah dan
di tengah Kota Industri yang begitu megah. Anomali yang sangat luar biasa, "Ayam
mati di lumbung padi", seperti itulah kira-kira...
Dan
tidak hanya sampai di situ, permasalahan tidak hanya di Selatan dan Utara Bekasi.
Contohnya banyak lahan seperti lapangan dan khususnya pesawahan di daerah Bekasi
dialih pungsikan dan disulap menjadi Perumahan untuk menampung kaum Urban yang
menumpuk. Dampaknya ialah banyak petani yang kehilangan lahannya, dan banyak
anak-anak kehilangan tempat bermainnya.
Inilah yang terjadi ketika Penguasa “Bersetubuh” dengan para
Pengusaha.
Ketika terpikir penomena dan semua permasalahan di atas
dalam lamunan, saya selalu di hantui oleh satu pertanyaan yang sangat mendalam
yang datang dari dalam diri ini. Yaitu, dimana para pemuda? Dimana kita?
Dimana kita ketika para penguasa berlaku tidak adil
kepada masyarakat? Kemana kita saat masyarakat membutuhkan penyelesaian atas
pemaslahan-pemasalahan ini?. Siapa lagi kalo bukan para pemuda yang merubah
keadaan yang sangat memperihatinkan ini, apa lagi mereka yang berkesempatan
menimba ilmu di perguruan tinggi yang seharusnya bisa membawa angin segar untuk
masyarakat sekitar dengan ilmu-ilmu yang mereka punya untuk membawa perubahan
ke arah yang lebih baik. Apa kita hanya terlalu asik dengn diskusi-diskusi yang
semu? Apa mungkin kita hanya asik menyoroti dunia perpolitikan, karena
menjelang Pilkada?. Entahlah.
“Kita ini dididik
untuk memihak yang mana? Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat
pembebasan, ataukah alat penindasan?” –W.S. Rendra
Tulisan ini tidak bermaksud untuk memprofokasi atau
menyalahkan siapapun. Ini adalah bahan pembelajaran dan juga sebuah otokritik
untuk penulis karena tidak bisa berbuat apa-apa dan menjadi pecundang ketika di
sekelilingnya masih banyak terjadi ketidak adilan.
Salam Pergerakan...!!!!
Bekasi, Rabu 20 juli 2016
Di Kantornya senior, di deket rumah bupati Bekasi.
Naseh Kamaludin
(Komunitas Anak Asuhan Rembulan, Kurang Tidur Tapi Punya Banyak Mimpi)
0 Response to "Dari Penonton Sejati Kota Industri, Sampai "Anjingisasi" di Utara Bekasi"
Posting Komentar