Gambar : Ilustrasi |
Rabu,
27 juli 2016
Oleh : Bally
Fadillah
Pemilu
laksana hajatan akbar di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Dalam setiap
hajatan demokrasi di Indonesia, selalu mampu menyedot perhatian dunia dalam
menyimak dan mengikuti setiap rangakaian pelaksanaanya. Entah itu media online,
surat kabar maupun televisi secara
intens mengikuti perkembangan yang berjalan terkait pemilu
yang berlangsung. Seperti yang terjadi pada pilpres tahun 2014 lalu terhadap
pemilihan Presiden.
Semagaimana yang tertulis pada laman sindonews.com (2014). CNN misalnya (amerika), menulis
judul “Indonesia's choice: Military
man or Jakarta governor” (Indonesia memilih: Tokoh militer atau
Gubernur Jakarta). Kemudian kantor berita Reuters
(AS), juga memuat. “Indonesians
vote for new president, choice between old guard and new breed”
(Indonesia memilih presiden baru, pilihan antara garda lama dan generasi baru)
serta BBC dari Inggris yang memberitakan “Indonesians
head to polls to elect new president” (Indonesia menuju pemungutan
suara untuk memilih presiden baru” dan masih banyak lagi media Internasional
yang turut serta berburu berita ketika
pesta demokrasi di Indonesia berlangsung.
Selama
12 tahun pengimplementasian pemilihan secara langsung sejak 5 juli 2004,
Indonesia mampu eksis sebagai salah satu negara yang mampu menjalankan pemilu dengan baik. Serta mampu memikat perhatian
dunia internasional. Entah apa yang menyebabkan hal demikian terjadi, namun
yang jelas antusiasme masyarakat dalam
memilih secara langsung calon pemimpin begitu sangat luar biasa sehingga mampu
memberikan rasa demokrasi yang semarak dan gegap gempita.
Dan
tak lama lagi dalam hitungan bulan, Indonesia akan kembali mengadakan hajatan
demokrasi berupa pemilu kepala daerah serentak gelombang kedua, yakni pada
bulan febuari tahu 2017 yang akan diikuti oleh 101 daerah dari tingkat
provinsi, kabupaten dan kota.
Berbading
terbalik dengan uraian diatas, belakangan ini prestasi pemilu sedikit tercoreng karena jumlah golput yang
meningkat dari tahun ketahun. Dalam
uraian hasil data yang merujuk pada salah satu sumber, dalam setaip
tahunnya angka golput masih kian merangkak naik. Golput seolah menandakan
antiklimaks dari kejenuhan sebagian masyarakat terhadap pemilu.
Presentase
golput dari tahun 1955-2009.
Sumber
dirujuk dari : https://kastratfebui.wordpress.com/2014/03/page/2/
Dalam
rilis data tersebut menyebutkan bahwa
meningkatnya angka golput dalam setiap pemilu karena beberapa faktor, selain
faktor figur yang dianggap tak memiliki
integritas dimata para pemilih, juga karena memang masih sangat minimnya
pendidikan politik yang diberikan kepada masyarakat secara luas. Adapun
beberapa program yang digalakan belumlah dikatakan mampu secara merata dan
maksimal mencerdaskan masyarakat terhadap kesadaran pemilu.
Menjelang
pemilu biasanya pemilih pemula-lah yang dijadikan bidikan skala prioritas
pendidikan pemilu (demokrasi). Namun faktualnya dimasyarakat banyak sekali
kalangan dewasa dan orang tua yang masih
sangat minim pemahaman tentang dinamika dan aspek-aspek demokrasi pada pemilu
yang memang karena dilatarbelakangi oleh pendidikan yang (maaf) masih sangat
rendah, terlebih didaerah pedesaan yang jauh dari hingar bingar pusat kota dan
pemerintahan. Terkait latar belakang yang rendah tersebut dirasa maklum, karena
memang sebagian besar mereka tumbuh dan berkembang pada masa yang serba sulit serta kondisi negara yang belum begitu stabil mengingat belum begitu jauh langkah
bangsa dari kemerdekaan.
Dengan
minimnya pendidikan politik berbasis demokrasi yang diberikan, maka minim
pula pengetahuan dan kesadaran yang
dimiliki oleh masyarakat, sehingga pemilu dimaknai hanya sebagai kontribusi
pemihan calon pemimpin dengan mencoblos wajah para calon kandidat di bilik
suara tanpa mengenal kredibelitas, elektabilitas, kualitas serta visi misi
calon kandidiat.
Tak
jarang pula Sebagian besar mereka
bersifat apatis terhadap pemilu karena
mereka beranggapan memilih ataupun tidak dan siapapun yang terpilih toh sama
saja, tidak ada perubahan apapun terhadap perkembangan di daerahnya yang mampu memicu
kecenderungan untuk tidak berpartisipasi dalam kancah pemilihan umum sangatlah besar. Merekalah
yang sepatutnya mendapat skala prioritas dalam hal pendidikan demokrasi pemilu secara prioritas dan konsisten baik
itu dengan seminar formal di aula desa/ kecamatan maupun pendidikan non formal
di pendopo maupun rumah-rumah warga ataupun dengan cara yang lainnya.
Sejatinya
pemilu adalah sarana mengukuhkan sendi-sendi negara
yang berfaham demokrasi ini, dan bagaimanapun juga sebagai warga negara
yang berdemokrasi dirasa sangat perlu menjunjung dan menyongsong pemilu bukan
hanya untuk diri sendiri dan keluarga.
Namun, mampu memberikan pemahaman
kepada masyarakat yang lain, baik itu lewat agenda formal maupun non formal. Baik
oleh pemerintah, lembaga terkait maupun
masyarakat umum.
Sehingga
bukan hanya menekan angka golput, namun dengan kesadaran berdemokrasi dalam
pemilu dan pemahaman politik, diharapkan
masyarakat mampu menjadi masyarakat yang cerdas yang tidak terkebiri haknya
oleh praktek-praktek yang mengotori
kemurnian pemilu dan demokrasi ditanah pertiwi.
*********
Penulis adalah Wakil Sekretaris II PC PMII Kabupaten Bekasi
Mantap (y)
BalasHapus