HARI SANTRI

HARI SANTRI

CSR : PERSPEKTIF PANCASILA DAN ISLAM

blogger templates

Foto : Ilustrasi



Kamis, 28 Juli 2016
Oleh   :  Adiyanto Saputra Wijaya


Perkembangan dunia Industri semakin pesat. Di satu sisi, Peningkatan taraf ekonomi menjadi bukti nyata bahwa industrialisasi membawa efek positif dalam konteks peningkatan kesejahteraan secara ekonomi. Namun disisi lain, tidak bisa dinafikan bahwa keberadaan industri juga melahirkan segelintir efek negatif (Excess Negative). Ketimpangan sosial, pergeseran sistem sosial, efek lingkungan semisal pencemaran limbah, polusi dan radiasi menjadi efek domino yang tak terelakkan.

Menurut Lord Holme dan Richard Watts (2006), CSR (Corporate Social Responsibilty)  merupakan komitmen berkelanjutan para pelaku bisnis untuk memegang teguh pada etika bisnis dalam beroperasi, memberi kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development), serta berusaha mendukung peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan bagi para pekerja, termasuk meningkatkan kualitas hidup bagi masyarakat sekitar. (Nor Hadi, 2011:46) Definisi ini cukup mengandung makna yang mendalam. Artinya, dalam melaksanakan kegiatan produksinya, sebuah perusahaan harus mematuhi etika (hukum) bisnis sehingga dapat menjaga stabilitas dan profitabilitas perusahaan dengan ekspektasi masyarakat dan lingkungan.

Maraknya demo buruh menuntut upah layak, merupakan potret nyata bahwa perusahaan/korporasi tidak atau belum melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan secara komprehensif. Padahal, mensejahterakan pekerja merupakan manifestasi  CSR (Corporate Social Responsibilty), karena buruh adalah bagian dari perusahaan.  Sebuah perusahaan yang memberikan kesejahteraan yang layak terhadap pekerjanya, menjaga harmonisasi pengusaha dan pekerja dengan memberikan kebebasan untuk berserikat serta berkomitmen menghormati hak asasi manusia (HAM). Itu sudah menjadi bagian tanggung jawab sosial perusahaan secara internal.

Kondisi lingkungan yang buruk, seperti banyaknya limbah industri yang dibuang ke sungai yang berdampak buruk bagi masyarakat, khususnya para petani yang menggunakan air sungai untuk pengairan sawah. Sehingga banyak sawah yang gagal panen disebabkan kondisi air sungai yang tercemar.

Realitas ini semakin memilukan, dengan banyaknya masyarakat yang hidup di sekitar daerah Industri, namun tingkat kesejahteraan dan taraf pendidikannya rendah. Di tambah lagi semakin menjamurnya pengangguran usia produktif, khususnya masyarakat lokal (pribumi). Partipasi masyarakat sekitar (lokal) terhadap akselerasi dunia industri sangat minim. Sungguh, realitas empirik yang sangat ironis. Masyarakat sekitar (pribumi) kawasan industri hanya menjadi “penonton” di daerahnya sendiri.

Harus ada sinergisasi antar stakeholders(pemerintah, perusahaan dan masyarakat) sekaligus reformulasi terkait pelaksanaan CSR perusahaan, agar benar-benar terealisasi dengan benar, produktif dan tepat sasaran. sehingga impelementasi CSR (Corporate Social Responsibilty) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang berkelanjutan, diharapkan, baik secara langsung atau tidak langsung dapat mereduksi segala macam implikasi negatif tersebut.


Pancasila

Indonesia sebagai negara yang berlandaskan Pancasila dan UUD ‘45,  telah mengatur tentang tanggung jawab sosial dalam UU PT (Perseroan Terbatas), No. 40 tahun 2007 Bab I Pasal 1 ayat 3  menyebutkan bahwa : “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.” Dan juga termaktub dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyebutkan bahwa “Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”.

Melihat urgensi tanggung jawab sosial, sejatinya sebuah korporasi harus berpartisipasi aktif dalam pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) lewat implementasi CSR yang berkelanjutan dan produktif. Tanggung jawab sosial perusahaan dimaknai tidak hanya sebatas Charity (amal), Philantropy atau Social activity semata, namun bisa lebih dari itu seperti Community Development dan Empowering (pemberdayaan masyarakat). Jika tanggung jawab sosial sudah dilaksanakan, berarti perusahaan tersebut sudah mematuhi atau bertanggung jawab terhadap  regulasi (Legal Responsibilty).

Namun, jika sebuah perusahaan tidak dan atau belum melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Maka, perusahaan tersebut bisa terkena sanksi. Sebagaimana Dalam UU PT (Perseroan Terbatas), BAB V No. 40 Tahun 2007 Pasal74 yang berbunyi: “Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Selain dari pada itu,  dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 4 menyebutkan bahwa : “Perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”  Jadi, Secara eksplisit maupun implisit undang-undang itu mengatur agar kegiatan perekonomian tidak hanya berorientasi kepada keuntungan semata (Profit Oriented) namun juga berorientasi pada aspek  tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan (Social and Environment Responsibility).



Islam

Islam – Sebagai agama bukan hanya mengatur aspek ritual saja, aspek ekonomi (muamalah) pun menjadi pokok bahasan yang cukup fundamental. Karena menyangkut cara memperoleh harta dan penggunaannya, serta terkait menegakan keadilan dan kesejahteraan bersama. Dalam sistem ekonomi Islam, ada 3 aspek mendasar yang menjadi landasan utama dalam bermuamalah (baca: kegiatan ekonomi) yaitu:  1.  Iman(percaya), 2. Adil dan 3. Ta’awun (Tolong-menolong).

Dengan landasan itu, kegiatan ekonomi dapat memberikan distribusi pendapatan yang adil, membangun kesejahteraan ekonomi dalam kerangka etika dan nilai-nilai keislaman. Lebih dari itu, persaudaraan dan keadilan universal serta kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial merupakan bagian integral dari tujuan perekonomian islam.

Dalam konteks tanggung jawab sosial perusahaan, Menurut Sayyid Qutb, Islam mempunyai prinsip pertanggungjawaban yang seimbang dalam segala bentuk dan ruang lingkupnya. Antara jiwa dan raga, antara individu dan keluarga, antara individu dan sosial dan, antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain.

Dalam aktivitas kehidupannya, umat Islam dianjurkan mengutamakan kebutuhan terpenting (mashlahah) agar sesuai dengan tujuan syariat (maqashid al-syari’ah). Mengikuti al-Syatibi, M. Fahim Khan, (1992: 195), mengatakan mashlahah adalah pemilikan atau kekuatan barang/jasa yang mengandung elemen dasar dan tujuan kehidupan umat manusia di dunia ini (dan peroleh pahala untuk kehidupan akhirat).

Dengan demikian, perspektif pancasila dan Islam sejatinya dapat menjadi pijakan korporasi dalam mengimplementasikan tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility) perusahaannya secara berkala, tepat sasaran dan berkesinambungan. Agar akselerasi dunia industri berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat.


Artikel Pernah dimuat di Koran Harian Cikarang Ekspres tahun 2014.
Penulis adalah Penggagas Lembaga Kajian dan Pers Mahasiswa (LKPM) STAI Haji Agus Salim Cikarang pada awal tahun 2014. Penulis Sekarang menjabat sebagai Ketua Umum PMII Cabang Kabupaten Bekasi masa khidmat 2015-2016.









3 Responses to "CSR : PERSPEKTIF PANCASILA DAN ISLAM"

  1. Mantap bro semoga dpt dipamahi setiap perusahaan terhadap lingkungannya,dan bisa bersinergi mau berbagi antara pengusaha sm lingkungan sekitar,dan menjalin hubungan yg baik,padahal tdk seharusnya byk penggangguran jika dari pihak terkait/perusahan mau menjalankan...maju terus pantang mundur tetap semangat PMII adiyanto

    BalasHapus
  2. Corporate Respon cuma dinikmati segelintir orang doang..

    BalasHapus
  3. Masa depan ditangan mu untuk meneruskan perjuangan

    BalasHapus