Ilustrasi : abahyasir.com |
Jum'at, 29 Juli 2016
Oleh : Adiyanto S.W.
Mahasiswa ikut berorganisasi adalah sebuah keniscayaan, bahkan sebuah keharusan bagi sebagian mahasiswa. Karena mahasiswa tanpa berorganisasi ibarat sayur tanpa garam, begitu kira-kira kata pepatah. Pun demikian dengan saya, rasanya kuliah saja tak cukup untuk meningkatkan kualitas keilmuan, menambah wawasan dan juga mencari relasi atau jaringan.
Keinginan untuk berorganisasi memang sudah lama hadir dalam benak pikiran saya, apalagi saat masuk bangku kuliah. Sepertinya hasrat itu tak dapat terbendung lagi. Seiring berjalannya waktu, akhirnya saya memutuskan untuk masuk dalam sebuah organisasi kemahasiswaan. Dalam kondisi kuliah sambil bekerja, saya tetap bersemangat untuk berorganisasi.
Saat itu saya mengikuti kegiatan formal organisasi kemahasiswaan tersebut sebagai pintu gerbang menjadi anggota. sekaligus tonggak awal saya dalam kegiatan keorganisasiaan. Kegiatan penerimaan anggota baru tersebut berlangsung selama tiga hari. Akhirnya, saya memutuskan untuk izin tidak masuk kerja dengan alasan sakit. Saya rela “berbohong” kepada atasan demi mengikuti kegiatan organisasi ini, karena ini memang bagian dari idealisme saya.
Terlebih, organisasi yang saya ikuti adalah organisasi mahasiswa Islam. Jadi, saya semakin bangga dan optimis bisa mendapatkan wawasan yang luas serta pengalaman yang berharga lantaran saya berada di organisasi yang ideologinya Islam. Karena Islam adalah agama yang saya yakini dan sekaligus agama yang Rahmatan Lil ‘Alamin.
Saya sangat antusias mengikuti setiap rangkaian acara yang di gelar. Acara dan isi materinya sangat menarik dan menantang untuk mengisi sekaligus mengasah pola pemikiran. Sekaligus menambah khazanah pengetahuan dan juga membuka cakrawala berfikir. Namun, yang membuat saya ‘kaget’ dan juga melahirkan pergulatan pemikiran dalam diri saya ialah dalam hal “sholat”. Waktu sholat seperti tidak diperhatikan, bahkan ada tendensi diabaikan atau di tinggalkan.
Sebagian peserta sudah “menginterupsi” panitia pelaksana bahwasanya waktu sholat sudah tiba. Panitia dan pemateri seolah tak menggubris permintaan sebagian peserta tersebut. Hingga waktu sholat akan berakhir. Beragam tanggapan terkait sikap panitia yang melalaikan waktu sholat. Ada yang ikut apa kata panitia, ada yang tidak setuju namun berdiam diri dan ada juga yang berani melawan secara terang-terangan. Dan kejadian seperti ini tidak hanya satu kali, namun berulang kali.
Bahkan, ada satu peristiwa yang membuat hati dan pikiran saya tersentak luar biasa. Suatu pagi (menjelang shubuh), saat itu semua peserta mengelilingi api unggun sambil bershalawat secara bersama-sama sekaligus mengutarakan motivasi, kesan-pesan mengikuti acara tersebut oleh masing-masing peserta. Sampai waktu shubuh tiba, bahkan sudah hampir jam enam pagi tapi kegiatan itu tak kunjung usai, padahal belum melaksanakan sholat shubuh.
Kebetulan saat pagi itu, ada beberapa orang panita pelaksana dan beberapa “senior” organisasi tersebut di dekat saya. Saya pun menghampiri dan bertanya perihal kapan berakhirnya acara ini, karena belum sholat shubuh. Sontak ada yang menjawab, “Allah itu pasti maafin kita, meskipun kita tidak sholat”. Mendengar jawaban demikian, saya sangat kaget dan seakan tak percaya, ternyata “aktivis Islam” menyepelekan sholat. Setelah mengikuti kegiatan itu, hati ini gembira karena sudah bisa ikut kegiatan organisasi, meskipun baru tahap per mulaan.
Di sisi lain, jiwa ini miris juga disebabkan oleh realitas yang menerpa para aktivis yang notabene aktivis Islam. Padahal organisasi tersebut lahir dari organisasi besar yang didirikan oleh orang-orang cendekia, para ulama besar sekaligus pejuang Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI). Intelektualitas mereka tak diragukan dan merupakan hal yang positif bagi perkembangan dunia pendidikan. Mereka pandai berorasi, lihai beretorika, ahli mengkritisi penguasa, responsif terhadap realitas sosial, berfikir progresif dan selalu ingin merubah keadaan masyarakat (komunal) kearah yang lebih baik.
Hal yang demikian adalah sikap yang mulia dan harus tetap diperjuangkan. Akan tetapi, jangan terlena sehingga mengalami “kealfaan” dalam menunaikan kewajiban kepada Allah. Mengintegrasikan Hubungan manusia dengan Allah (Hablumminallah), Hubungan manusia dengan manusia (Hablumminannas) dan Hubungan manusia dengan alam (Hablum minal alam) adalah manifestasi menjaga keseimbangan hidup sebagai Hamba Allah dan makhluk sosial.
Sebuah potret dinamika pemikiran yang sudah mendiaspora ke berbagai domain kehidupan, termasuk wacana pemikiran para aktivis mahasiswa. Pemikiran-pemikiran “Nyeleneh” yang menerpa para mahasiswa/aktivis tidak lahir begitu saja. Tentu ada faktor historis atau kesejarahan yang menelorkan pemikiran tersebut. Gerakan pemikiran yang disebut Renaisance (kelahiran kembali) dengan ciri yang menonjol yaitu pandangannya yang Antroposentristik, meletakan otonomi manusia dengan mengandalkan kemampuan rasionalitasnya di atas segalanya. Sehingga ada kecenderungan memunculkan ilmu pengetahuan yang positivistik. Dan ada dikotomi antara ilmu pengetahuan dan agama sehingga melahirkan sekularisme.
Abad 17 pemikiran Renaisance mencapai puncaknya dengan ciri rasionalisme dengan tokohnya Rene Descrates (1596-1650) yang sebenarnya menjadi peletak dasar dari pemikiran modern. Ciri Renaisance yang lain adalah empirisme dengan tokoh Inggris Thomas Hobbes (1588-1679) yang mempersatukan empirisme dan rasionalisme dalam suatu bentuk filsafat materialistik yang konsekuen pada zaman modern.
Pada abad ke – 18 dimulailah zaman baru yang memang berakar dari renaisance, yang disebut pencerahan (Aufklarung), semboyannya adalah “Beranilah berpikir”. Sikap pencerahan terhadap agama pada umumnya memusuhi atau sekurang-kurangnya mencurigai. Aufklarung berkembang di seluruh Eropa, Perancis dengan tokohnya Voltaire (1694 - 1778) dan Jean Jacques Rousseau (1712 - 1778). Di Jerman muncul Emanuel Kant (1724-1804).
Abad ke -19 merupakan abad yang sangat dipengaruhi oleh filsafat positivistisme, terutama di bidang ilmu pengetahuan. Abad positivisme ditandai oleh peranan yang menentukan dari fikiran-fikiran ilmiah. Tokohnya adalah Auguste Comte (1798-1857). Positivisme memberikan inspirasi luar biasa bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi abad ke-19 dan 20. Peradaban barat menguasai dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk mengekspansi gerakan pemikirannya ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Ilmuan dan pemikir-pemikir Barat menjadi kiblat dan rujukan dalam bidang ilmu pengetahuan.
Sehingga kaum intelektual Indonesia pun banyak yang mengikuti mainstream pemikiran Barat, mereka “meng- copy paste” begitu saja tanpa ada proses filter (penyaringan) terhadap berbagai wacana keilmuan yang berasal dari Barat. Jadi, pemikiran generasi bangsa pun banyak yang terkontaminasi oleh arus westernisasi yang justru jauh dari nilai-nilai Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan.
Mereka lupa bahwa perjuangan para pendahulu tak lepas dari unsur spiritualitas. Coba kita lihat redaksi lagu kebangsaan Indonesia Raya, “Bangunlah ‘Jiwa’nya, Bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”. Dari penggalan lagu itu tersirat makna akan urgensi membangun kesadaran jiwa. Jika dikorelasikan dalam perspektif Islam, salah satunya dengan menjalankan sholat. Sholat merupakan perintah Allah SWT harus dilaksanakan sebagai konsekuensi logis insan beragama (Islam).
Para aktivis tersebut, sebagaimana sering kita lihat mereka sering berteriak menyuarakan untuk membela rakyat, meneruskan perjuangan The Founding Fathers dan melanjutkan cita-cita kemerdekaan. Namun, seperti tanpa disadari bahwa kemerdekaan diraih berdasarkan Atas Berkat Rahmat Allah Subhana Wata’ala sebagaimana tersurat dalam pembukaan UUD 1945. Berarti, para aktivis itu tidak bersyukur atas nikmat dan rahmat Allah yaitu kemerdekaan Indonesia, karena mereka tidak melaksanakan salah satu perintah Allah yaitu shoalat. Dan Pancasila sila ke satu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Berarti dimensi ketauhidan sangat jelas menjadi pijakan Negara ini. Sebagai manifestasi dari ketauhidan ialah menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Jika kita menengok perjalanan hidup salah satu pendiri Republik ini sekaligus presiden pertama Indonesia yakni Bung Karno, Beliau selain terkenal karena kecerdasan dalam memimpin dan ketangguhan dalam berpolitik, juga terkenal sering menempa diri untuk mengasah spiritualnya. Dalam sebuah buku sejarah biografi Bung Karno disebutkan, dalam berpolitik dia banyak belajar dari Gadjah Mada, dalam ekonomi belajar kepada Hayam Wuruk, dalam hal spiritualitas dan keagamaan dia belajar kepada Sunan Kalijaga dan belajar langsung kepada gurunya H.O.S Cokro Aminoto.
Benang merah yang bisa dipetik dari kisah Bung Karno ialah adanya integrasi antara kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual sebagai sarana untuk memperjuangkan kemerdekaan. Terlebih, sebagai seorang muslim yang notabene sholat merupakan wahana untuk meningkatkan spiritualitas. Sejatinya model perjuangan seperti itulah yang senantiasa menjadi landasan dan memiliki relevansi yang kuat.
Tidak adanya perhatian yang cukup bagi spiritualitas, berarti mengingkari hakikat manusia itu sendiri dan tentu saja menggoncangkan jiwa manusia itu sendiri. Manusia modern yang mewarisi sikap positivistik ini, cenderung menolak keterkaitan substansi jasmani dan substansi ruhani manusia, serta menolak pengertian ketersusunan alam dunia dan alam akhirat. Apabila hubungan mata hati dan kecerdasan manusia telah diputuskan, maka manusia akan memperoleh kenyataan bahwa pertanyaan yang berhubungan dengan perumusan hidup ideal tidak pernah terjawab tuntas.
Tulisan tahun 2013 dimuat di blog pribadi.
Penulis pernah menjabat sebagai Ketua Komisariat STAI Haji Agus Salim Cikarang masa khidmat 2013-2014
Mungkin terjerumus di jalan yang lurus...
BalasHapusSayapun demikian
BalasHapusSesat yg benar
BalasHapus