Ilustrasi : antaranews.com |
Sabtu, 30 Juli 2016
Oleh : Achmad Firdaos
Bagi Negara demokrasi seperti Indonesia,
pemilihan umum (pemilu) adalah agenda rutin lima tahunan. Pemilu dianggap sebagai pesta demokrasi atau
pesta rakyat untuk memilih pemimpin. Negara memberi hak yang sama kepada
seluruh warga negara untuk turut serta dalam pemilu. Rakyat memiliki hak untuk
menentukan pemimpinnya di masa depan, baik di level legislatif (DPRD, DPD,
DPR-RI) maupun eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) dan Pemilihan Kepala
Daerah (PILKADA).
Namun, hampir satu dekade ini,
penyelenggaraan pemilu (baca; Pilkada) diwarnai berbagai dinamika politik seperti
semakin meningkatnya Golput , menjamurnya money politics dan
kecurangan-kecurangan lain. Indikator tersebut merupakan sebuah potret
demokrasi yang belum matang.
Menurunnya partisipasi masyarakat untuk
menggunakan hak pilihnya atau golput, disebabkan banyak faktor. Pertama,
dikarenakan perilaku koruptif dan penyimpangan lainnya yang dilakukan oleh para
elite politik, baik di tataran eksekutif ataupun legislatif. Akibatnya, rakyat
kecewa karena intensitas penyelewengan anggaran dan penyalahgunaan jabatan yang
dilakukan pejabat sangat tinggi.
Sikap kecewa masyarakat kepada pemimpinnya
dimanifestasikan dengan keengganan mereka untuk turut serta dalam Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada). Kedua, sikap golput didasari oleh pemikiran ideologis
yang tidak sepenuhnya menerima demokrasi sebagai sistem bernegara. Golongan ini
acuh dengan hingar bingar pemilu, karena cenderung antipati terhadap proses
demokrasi.
Faktor yang pertama merupakan faktor yang
paling dominan mempengaruhi sikap tidak memilih (golput). Angka golput semakin
tinggi dari pemilu ke pemilu. Sangat jelas, ini bentuk kekecewan yang mendalam
lantaran ulah elite politik yang paradoks. Janji – janji waktu kampanye,
diingkari begitu saja tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Kini, rakyat
terlanjur ‘sakit’, sehingga melahirkan penyakit turunan semisal apatisme dan
skeptisme terhadap para petinggi negeri ini.
Sebagai mahasiswa – yang identik dengan
sebutan agen perubahan(agent of change), golput bukanlah sebuah solusi untuk
sebuah perubahan yang lebih baik. Sikap apatis dan skeptis adalah benih-benih
kegagalan. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, pemilu ibarat ‘mesin
produksi’ yang menghasilkan produk yang beraneka ragam, baik jenis maupun
kualitasnya. Ke depan, agar proses pemilu lebih baik lagi tentu harus ada
upaya-upaya perbaikan agar penyelenggaraan pemilu semakin baik, jujur dan adil.
Diantara calon-calon pemimpin yang terpilih
lewat pemilu, pasti ada yang masih memiliki idealisme tinggi, kapabilitas dan
kredibilitas yang mumpuni.
Mereka benar-benar ingin berjuang untuk
rakyat dan kemajuan bangsa. Sebagai kaum
muda terpelajar, semangat optimisme harus terus digaungkan. Optimisme tinggi
dibangun sebagai upaya menciptakan kesadaran masyarakat secara kolektif,
bahwasanya masih ada secercah harapan untuk memperbaiki bangsa ini.
Bukan sebaliknya, mahasiswa ikut-ikutan
golput dan terjerambab budaya money politics yang sudah mengakar. Lebih parah
lagi, mempropaganda masyarakat untuk ikut golput. Selain sikap optimis, sikap
kritis juga menjadi bagian penting dalam menyikapi berbagai problematika
bangsa. Kritis bukan berarti perlawanan, tetapi sebagai wujud peduli terhadap
realitas dan bentuk pengejawantahan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan.
Mengutip pernyataan tokoh intelektual muda
Indonesia, Anies Baswedan, Ph.D, “Satu bisikan ide baru yang memecahkan masalah
bagi bangsa ini, dapat mengalahkan teriakan kaum pesimis sekeras apapun”. Jadi,
sikap optimis dan kritis-transformatif adalah perwujudan sikap penuh harapan
akan perubahan.
Pilkada, dengan segala plus dan minus-nya
merupakan kawah chandradimuka bagi estafet kepemimpinan di level daerah
sekaligus pintu gerbang dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Kawal Pilkada..........!!!!!!
Penulis tercatat sebagai Mahasiswa Kampus Pelita Bangsa Jurusan Management dan aktif di PMII Kabupaten Bekasi.
Penulis tercatat sebagai Mahasiswa Kampus Pelita Bangsa Jurusan Management dan aktif di PMII Kabupaten Bekasi.
0 Response to "HARAPAN MAHASISWA DARI PILKADA : TETAP OPTIMIS DAN KRITIS"
Posting Komentar