Rabu, 24 Agustus 2016 | Admin.
Oleh : Eman
Sulaeman
Dalam suatu kesempatan moment silaturrahim
dengan jajaran Mabincab PMII Kabupaten Bekasi. Perihal momentum kemerdekaan
mendominasi dalam setiap manuver bidak
kata-kata. Dengan sajian secangkir kopi yang mulai dingin suhunya, tak
lantas mendingin pula antusiasme forum
obrolan yan merujuk pada ranah diskusi interaktif.
Merefleksi Dirgaharu RI yang ke-71. Nasionalisme
dan Kebangsaan seakan menjadi dominan menghias dalam setiap jabaran forum
obrolan. Secara garis besar kaidah-kaidah yang telah tercipta dalam menopang
keberlangsungan negara dirasa mulai kehilangan aktualisasi maknawi dalam
implementasi cita-cita bangsa yang hakiki.
Petikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya dikutip
sebagai pemantik obrolan “Bangunlah
Jiwanya, Bangunlah Badannya Untuk Indonesia Raya”.
Itu bukanlah tanpa maksud, setiap kata yang tertuang dalam lagu Indonesia Raya
yang diciptakan oleh W.R. Supratman, tersisipkan makna tersirat yang
membangkikan jiwa nasionalisme, spirit kesatuan dan kebangsaan dalam jangka
yang sangat panjang. lagu Indonesia Raya bukanlah dimaknai sebagai pelengkap
ritual dalam prosesi upacara belaka, namun lebih dari sekedar itu. Mengapa “Bangunlah
jiwanya dahulu, lantas kemudian barulah badannya untuk Indonesia Raya ??
Lontaran kata demi kata tersusun ciamik meski
sedikit kurang sistematik karena
terpengaruh kopi dicangkir mulai habis dan tinggal ampasnya. Dari mulai jajaran Mabincab hingga
semua sahabat-sahabat PMII yang hadir dalam forum, secara garis besar pada
intinya memepertanyakan makna yang hakiki dari kata “Kemerdekaan” yang sudah mencapai tahun ke-71
ini, serta peran Pemuda/ Mahasiswa dalam mewarnai bangsa dalam konteks membangun Jiwa dan
Badannya untuk Indonesia yang Raya.
Bila diresapi secara serius dan mendalam, ada pesan tersirat dari sang
pencipta lagu. Makna yang tidak hanya
didengarkan saja, namun perlu
menangkap secara mendalam makna yang terkandung dalam tiap bait-nya sebagai
refleksi atas kebingungan hati dalam menapaki rentang jalan bangsa pasca
merdeka.
Bila pra-Kemerdekaan perjuangan terfokus pada
merebut Kemerdekaan. Dan setelah kemerdekaan bangsa dapat direbut dengan
seutuhnya bukan berarti merdeka pula perjuangan untuk bangsa. Sebagai anak
bangsa kita berkewajiban terus menjaga kedaulatan bangsa serta terus berjuang
demi bangsa dalam konteks yang tidak lagi merebut kemerdekaan dari tangan
imprelalis tamak, Namun dalam tataran membangun “Jiwa dan badannya untuk Indonesia Raya” sebagai bentuk implementasi dari perjuangan
pada era pasca Kemerdekaan.
Pemuda
: Membangun Jiwa, Membangun Badan
Dalam banyak buku
sejarah yang mengulas tentang perjalanan bangsa dari abad maritim, agraria
hingga pekerja banyak tertulis tumpang tindihnya peradaban yang kesemuanya
terbingkai dengan kisah heroik para pejuang pada era-nya masing-masing baik
yang tertuliskan maupun tidak, yang kesemuanya memiliki satu tujuan yakni “kemerdekaan”.
Pada abad Ke-19
barulah secara nasional Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya yang tidak
serta merta mulus dan berjalan dengan mudah. Pasca proklamasipun bangsa ini
masih terus berkutat pada ranah perjuangan guna merebut kemerdekaan yang
seutuhnya. Karena belum ikhlasnya imprealis tamak mengakui kemerdekaan bangsa
ini secara hakiki.
Misi pendirian NKRI
penuh dengan lumuran darah pada
bentangan dinding perjuangan yang
terpampang kekar menancap pada asa kemerdekaan Ibu pertiwi. Tak hanya
perjuangan berupa fisik, perundingan-perundingan dan loby dukungan-pun turut
serta pula digencarkan oleh para ahlinya dengan maksud dan tujuan yang sama.
Dalam kontek Kemerdekaan
Bangsa di era kekinian, kita patut mempertanyakan sudah sejauh mana rentang
waktu kemerdekaan itu telah benar-benar memerdekakan rakyat dari kungkungan
pembodohan dan ketidakberdayaan ?.
Dan kita patut
mempertanyakan khususnya sebagai pemuda, apa yang sudah kita lakukan/ berikan
untuk tanah pertiwi dalam mengimplementasikan makna kemerdekaan yang sesungguhnya
dengan tindakan nyata yang berkesinambungan.
Sejatinya, meskipun
telah merdeka bukan serta merta kita berleha-leha dalam euforia kebebasan Bangsa.
Ideal-nya dengan kebebasan yang telah dimiliki ini kita mampu merangseg pada
panggung dunia dalam berbagai bidang prestasi yang mampu membawa kejayaan
bangsa pada pentas dunia, baik prestasi dibidang politik, olah raga,
pendidikan, ekonomi, sains dan lain sebagainya. Dengan kata lain kita perlu berjuang dengan memberikan suau
karya yang nyata untuk bangsa, ini dirasa perlu karena bisa dibilang bangsa ini
masih terjajah oleh segala bentuk ketertinggalan dari bangsa lain.
Meski telah merdeka
bukan berarti perjuangan turut pula bebas/ selesai. Sebagai pemuda kita
memiliki tanggung jawab guna meneruskan cita-cita perjuangan dan kemerdekaan
itu sendiri yang dulu diperjuangkan dengan cara yang berdarah-darah serta berlumuran
derita dan sengsara.
Untuk
Indonesia Raya
Logikanya, setelah merdeka. Bangsa dapat lebih
maju dengan kebebasan bernegara yang didapatnya. Berbanding terbalik dengan logika,
Bangsa ini masih saja tergoyahkan dengan selentingan propaganda/ sabotase yang
dimunculkan oleh sutradara-sutradara yang tak senang bila bangsa ini melesat
maju menjadi negara yang perkasa.
Sehingga Kemerdekaan yang hakiki masih bersifat
utopis belaka, Kemerdekaan sejatinya adalah
sebagai gerbang awal dalam perjuangan selanjutnya dalam menaklukan
ketidakberdayaan disegala bidang. Berkenaan dengan hal ini Bung Karno telah
mewanti-wanti dari jauh-jauh hari “Perjuanganku
lebih mudah karena melawan penjajah, dan perjuanganmu lebih berat karena
melawan Bangsa sendiri”.
Perang dengan bangsa sendiri memang lebih sulit
karena memang musuh bersifat kasat mata dan terselubung dibalik topeng-topeng
heroik pendusta dan munafik. Selain itu
strategi koalisi penjahat serta merta seolah laksana benteng-benteng pertahanan
yang kokoh yang tak mudah untuk dihancurkan.
Saat ada segelintir pejuang yang berusaha
menggedor dengan sekuat tenaga, maka dengan seketika mereka akan dihujam dengan
panah propaganda dan tipuan yang keji yang akan menembus tepat pada jantungnya
yang merah membara laksana darah garuda, hingga tersungkur dipelataran benteng yang hina milik
sang pendusta nan tercela dan seketika mereka bersorak bergembira melihat orang usil
(menurut mereka) telah tersungkur bercucuran darah dan tak berdaya. Amanlah
cita-cita bejad mereka dari kehancuran, dalam bejana koalisi jahat dan penjilat,
penggerogot sendi-sendi Nusantara.
Perjuangan takkan boleh mengenal kata usai dan
selesai. Perjuangan sebagai pelita harus
terus berkobar menggelora dalam setiap
sanubari regenerasi Bangsa, yang sebelumnya telah dipersiapkan yang telah
dibangun jiwa dan badannya. Sekokoh apapun benteng dengan label “Kemufakatan
jahat” lambat laut akan hancur juga, ya meskipun tidak
dengan waktu yang sebentar. Namun, percayalah hasil takkan pernah mengkhianati
perjuangan.
Bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya. Merdeka......!!!
Tulisan pernah dimuat pada laman opini NUSANTARANEWS.CO (19/08). Penulis
tercatat sebagai kader PMII Cabang Kabupaten Bekasi.
0 Response to "Refeksi Kemerdekaan (PMII) : Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya."
Posting Komentar