HARI SANTRI

HARI SANTRI

Idealisme vs Kenyataan; Sebuah Catatan Pribadi

blogger templates





Sabtu, 22 Oktober 2016 | Admin
Oleh  :  Adiyanto S.W.

Idealisme adalah keinginan, cita-cita, harapan yang sesuai dengan kepahaman kita. Setiap manusia memiliki idealisme dalam hidupnya, tak terkecuali diri saya pribadi. Idealisme akan hadir dari buah hasil pemikiran, sosialisasi , berorganisas, belajar formal dan lain sebagainnya. Kadang idealisme tidak serta merta berjalan mulus , banyak rintangan dan aral melintang serta jalan terjal  yang harus dilewati untuk mencapai titik kulminasi dari sebuah idealisme tersebut. ” Pergulatan jiwa ” terjadi ketika sebuah idealitas berseberangan atau tidak sesuai dengan kenyataan, inilah yang dinamakan sebuah masalah.

Masalah adalah ketika keinginan (want) tidak sesuai dengan kenyataan (reality). Di sinilah perjuangan dalam mengarungi samudera kehidupan dimulai. “sukses” dan “gagal” dalam melewati masalah akan menjadi hasil akhir dari sebuah perjuangan. Seperti dalam pepatah, Hidup adalah Perjuangan. Inilah motto yang selalu menjadi suplemen kehidupan aku di kala susah ataupun senang, meskipun ketika sedang dalam keadaan senang sedikit lupa akan arti hidup adalah perjuangan. Tapi itulah yang namanya manusia, sering terjebak ketika sudah dininabobokan oleh buaian keindahan dan kenikmatan.

Ketika keinginan untuk mencapai sesuatu yang ideal terhalang berbagai peraturan dan keadaan, disinilah sangat diperlukan pemikiran matang, keseimbangan emosional harus dijaga dan sikap optimis harus di pegang erat-erat. Meskipun terkadang pada saat masalah menghadang, perasaan putus asa, stress, pesimis dan emosional tingkat tinggi berbaur dan berkolaborasi menjadi penghias pikiran dan tindakan.

Akan tetapi, ketika setelah menunaikan sholat ataupun berkumpul di “majelis ilmu” dan bertafakur sejenak “sikap-sikap negatif” sirna berganti menjadi spirit baru menuju pencapaian sebuah idealitas meskipun masih dalam dunia angan-angan. Bukan hanya itu saja, setelah melihat acara televisi yang memiliki “high motivation” dan membaca buku serta koran ataupun majalah yang sekiranya isi bacaan itu bisa “menghadirkan” spirit dan semangat baru menuju sebuah perbaikan.   

Dan membaca Al Qur’an pun sudah terbukti dapat menjadi ‘ramuan mujarab’ dalam menghadapi berbagai kesulitan didalam mengarungi samudera kehidupan ini. Seperti pepatah mengatakan, “semakin tinggi pohon menjulang semakin tinggi pula angin yang bertiup”. Senafas dengan pepatah itu - semakin tinggi manusia memilki keinginan semakin tinggi pula cobaan dan rintangannya- kira-kira seperti itu.

Di saat ide-ide gentayangan, cita-cita bergejolak dalam diri , keinginan terus berada dalam dunia angan-angan, apa yang harus dilakukan? Kemana harus melangkah dan bagaimana arah progresifitas pemikiran ku laksanakan?.  Segudang pemikiran yang menurutku sangat progresif masih tersimpan rapi, meskipun lambat laun mulai “dicuri” padatnya aktivitas dan tak adanya implementasi.

Aku jadi teringat sebuah catatan di buku seorang teman, bahwa yang “menghancurkan masa depan seseorang adalah kurang lebih ada tiga :

1. Lingkungan yang buruk (Bad environment) ,
2. Lemahnya motivasi (Low motivation), dan
3. Pikiran yang meracuni

Rasanya akan kurang dan bahkan sangat kurang jika motivasi tinggi  tetapi lingkungan tidak mendukung untuk menuju sebuah perbaikan dan kemajuan. Tapi roda kehidupan tetap berputar, jadi perjuangan untuk menggapai cita-cita masih terbuka lebar. Seperti kata ‘pepatah barat’ there is a will  there is a way.

Setelah dua tahun menganggur dari dunia pendidikan formal , akhirnya aku memutuskan untuk berkuliah. Meskipun dalam menentukan jurusan dan kampus ditemani kebingungan dan kebimbangan. Akhirnya, aku memutuskan kuliah sambil kerja karena itulah pilihan dan jalan yang harus ditempuh untuk menggapai idealisme. Dengan berkuliah, saya harap bisa berorganisasi dan menambah wawasan serta Tholabul ilmi  sebagai kewajiban tiap-tiap insan muslim.

Seiring berjalannya waktu “kuliah sambil kerja” terus aku setir demi sebuah impian. Capek, lelah, pusing adalah bumbu-bumbu penyedap yang harus disantap. Rasa malas, tidur berlebihan, makan berlebihan dan manajemen waktu yang kadang berantakan  menjadi sebuah “tantangan” yang kadang sering di lahap pula.

Salah satu “tantangan” yang membuat naik darah – ketika peraturan di perusahaan tempat aku bekerja tidak membolehkan ‘karyawan kontrak’ membawa kendaraan bermotor. Apalagi di saat jadwal kuliah, kadang aku harus pulang dengan jalan kaki untuk mengambil motor. Aku berperang melawan keadaan, berpacu dengan waktu yang sangat padat. Pergolakan jiwa yang menggebu,rasa  emosional hadir dalam diriku menemani langkah-langkah kaki yang sudah terasa pegal karena telah terkuras oleh rutinitas kerja. Selain itu,  dijemput oleh Ayah, saudara, tetangga dan bahkan naik ojeg menjadi menu yang silih berganti menemani kepulangan dari tempat kerja menuju kampus.

Meskipun dilarang membawa motor, aku tetap nekat walaupun melanggar aturan. Tujuannya hanya efektifitas waktu. Hingga akhirnya, sikap nekat itu tidak bertahan lama. Karena aku “ditangkap” oleh security/satpam ketahuan bawa motor. Aku sedih, amarah memuncak dan kadang muak dengan kenyataan. Dalam sebuah lamunan aku berkhayal ingin sekali  melukai “security jahat” dan sentimen itu - ia telah menjadi penghalang dan penghambat efektifitas waktu aku. Aku sangat jenuh berbalut galau karena ‘aturan’ yang disepakati mantan “kaum penjajah” dengan manajemen “Jepang hitam”.

Klimaks dari kegalauan itu adalah melakukan jalan pintas – dengan menjiplak sticker tanda pass masuk -  yang menghabiskan anggaran pribadi sekitar seratus lima puluh ribu. Sebuah pengorbanan mekipun dengan jalan pintas, dan sticker tersebut aku bagi-bagikan kepada rekan-rekan yang ‘sejabatan’ (baca; sama-sama karyawan kontrak) dengan aku karena mereka juga ingin membawa kendaraan bermotor. Jalan pintas aku tempuh bukan tanpa sebab, bicara ke atasan/leader sudah berulang kali namun tak ada jawaban membahagiakan. Dia  adalah sosok yang sangat “taat” akan aturan, menurut kacamata saya. Bisa juga bukan karena taat, tapi rasa takut dan tunduk sama atasan.

Hari demi hari terus dilewati. Keinginan untuk membawa kendaraan bermotor selalu hadir dalam benak ku. Aku sudah malu dan sedikit “gengsi” ketika berangkat kerja harus jalan kaki. Apalagi ketika hujan turun, sedih bercampur emosi menemani setiap detak jantung ini. Dalam pikiran terbesit, aku ingin langsung bicara kepada langsung kepada “manager” untuk menanyakan hal ini. Karena aku tidak mau membicarakan hal ini di jam kerja, aku berpikir akan berbicara hal ini di lapangan futsal.  Main futsal adalah kegiatan rutinitas setiap hari jum’at. Ditunggu di lapangan futsal tak kunjung hadir meskipun sudah berminggu-minggu bahkan  dua bulan.

Harapan nihil alias sirna dalam sekejap. Akan tetapi ‘ambisi’ ini sangat kuat, sehingga aku memutuskan untuk berbicara hal ini kepada “supervisor”, kebetulan dia berdarah bekasi yang juga keturunan kiayi, meskipun hanya lewat jejaring sosial. Tapi ‘curhatku’ kurang mendapat respon, dan pada akhirnya aku berbicara langsung kepadanya setelah tenggang waktu beberapa minggu. Hasil dari pembicaraan itu pun mengharuskan saya untuk menemui seseorang lagi, sebut saja Mr. R. Sebagai tindak lanjut untuk menggapai idealisme maka harus aku tempuh, jawaban dari Mr. R juga setali dua uang dengan yang lain dan belum memuaskan hasrat aku, bahkan cenderung mengecawakan. Katanya, dia akan membicarakan hal ini dengan atasan yang lain, Mr. J. Aku merasa dilempar sana-sini tidak ada jawaban pasti  yang menggembirakan hasilnya.

Itulah sekilas kisah perjuangan untuk menggapai idealisme. Meskipun aku karyawan baru/kontrak (yang seragamnya dibedakan dengan karyawan tetap) tetap merasa ‘pede’ dan berani untuk menerobos aturan di tempat aku bekerja. Aku berani berbicara kepada orang yang jabatannya jauh lebih tinggi untuk menggapai sebuah tujuan. Aku rasa ‘perjuangan’ itu masuk akal karena sebuah hukum/aturan juga memiliki pengecualian – dalam bahasa Islam itu Rukshah. Mungkin keberanianku juga  sedikit ditopang oleh arogansi seorang mahasiswa. Terkadang, keputusan emosionalku ingin rasanya untuk keluar dari perusahaan itu, akan tetapi dalam benakku tak ingin memperburuk ‘citra pribumi’ dalam dunia industri. Menjaga nama baik warga pribumi  adalah mindset yang selalu terpatri dalam dada ini, entah tahu kenapa.

Prinsip berprangka baik (husnudzan) harus selalu dikedepankan, sedikit banyaknya arena itu telah memberikan kita pelajaran hidup. Hidup memang sebuah perjuangan. Kesuksesan bukan hal yang gratis, dibutuhkan kerja keras dan daya tahan yang tinggi menghadapi segala rintangan untuk mencapai kesuksesan itu. Kesabaran harus dijadikan  ‘teman setia’  dalam berbagai permasalahan. Jadikan bekerja di perusahan itu hanyalah ‘jembatan karir’ dan sarana belajar menuju impian sesungguhnya. Mudah-mudahan menjadi pewujud mimpi bukan pemimpi.



Sumber dari catatan pribadi penulis, ditulis pada 27 Maret 2012 Pukul. 00.25 WIB


1 Response to "Idealisme vs Kenyataan; Sebuah Catatan Pribadi"