HARI SANTRI

HARI SANTRI

HAKIKAT MENGAJAR : MEMBIARKAN ANAK BELAJAR

blogger templates



Sabtu, 26 November 2016 | pmii.cabangkabupatenbekasi.blogspot.com
Oleh  :  Nur Sayyid Kristeva Santoso, S.Pd.I, M.A.

Belajar berarti membuat segala sesuatu yang kita jawab menjadi hakikat-hakikat yang menunjukan dirinya sendiri pada kita setiap saat. Mengajar lebih sulit daripada belajar, karena apa yang dituntut dari mengajar: membiarkan belajar!

Belajar bagi sebagian anak dilembaga pendidikan adalah aktivitas yang membosankan dan menyebalkan. Alasannya bisa karena cara mengajar yang monoton, tidak ada metodologi variatif, didominasi peran guru yang selalu ceramah, atau guru yang selalu marah bila si anak bermain sendiri.

Pengalaman penulis saat mengajar, baik itu anak didik tingkat

menengah ataupun mahasiswa, mereka butuh ruang ekspresi, berpendapat

dan mengkritik pada saat proses belajar. Kenyataan ini membuktikan bahwa

pada hakikatnya anak didik dan realitas sosial juga menjadi sumber belajar.

Maka, harus menjadi kesadaran bahwa guru bukan satu-satunya sumber

pengetahuan.



Sejalan dengan testimoni Heidegger, ia melihat proses belajar

sebagai masalah yang sangat mendesak dan bersifat pastisipatoris, yang

memerlukan keterlibatan penuh pelajar (learner) dan tentunya bukan sesuatu

yang dapat ditanamkan dari luar melalui proses yang sangat didaktis.

Menurutnya, proses belajar juga tidak dilakukan dalam pengertian

tercapainya sekumpulan tujuan proses belajar rinci yang sudah ditetapkan

sebelumnya sebagaimana ditentukan dalam kurikulum nasional.



Guru harus membiarkan anak didiknya belajar, bukan memaksakan

proses itu kepadanya. Tindakan itu akan membuat proses belajar bersifat

pasif, interpretasinya bisa jadi sangat jauh dari kebenaran. Jadi peran guru

tidak lebih sebagai fasilitator atau teman belajar.

Proses pendidikan saat ini tidak lebih dari memperoleh ketrampilan
yang dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan kapitalisme global, bukan
mendapat pengetahuan yang murni untuk pengetahuan itu sendiri. Maka,
kebaikan pendidikan (human proper) terutama berkenaan dengan nilai dan
makna yang kita peroleh dari pendidikan, bagaimana anak didik
merasakannya seharusnya mempengaruhi pandangan dan tindakan mereka.
Serta konsepsi anak didik baik sebagai individu yang bertanggungjawab
maupun sebagai anggota dalam lingkungan manusia (human condition).

Konsepsi pendidikan semacam itulah yang disebut pendidikan yang
transformatif. Yaitu, model pendidikan yang kooperatif terhadap segenap
kemampuan anak untuk menuju proses berfikir yang lebih bebas dan kreatif.
Model pendidikan ini menghargai potensi yang ada pada setiap individu.
Artinya, potensi-potensi individu itu tidak dimatikan dengan berbagai bentuk
penyeragaman dan sanksi-sanksi, tetapi biarkan tumbuh dan berkembang
secara wajar dan manusiawi.

Pendidikan transformatif menjelaskan adanya relasi sosial yang
timpang, menindas, mendominasi dan mengeksploitasi. Relasi-relasi tersebut
harus diubah agar menjadi setara, saling menghargai dan memiliki kepekaan.

Dalam pelaksanaannya, anak didik tidak dijejali kurikulum yang
dipaket oleh pemerintah, tetapi anak didik diajak untuk memahami realitas
hidupnya. Realitas itu kemudian menjadi sumber inspirasi dan kreatifitas anak
didik dalam membangun visinya. Model pendidikan semacam ini tidak
menjadikan anak didik menjadi bejana kosong yang harus terus diisi (bangking concept of education), seperti dikritik oleh Paulo Freire, melainkan
mengajak anak didik secara kritis mempertanyakan realitas yangterjadi
disekeliling mereka.

Agar kualitas proses belajar ini tercapai dibutuhkan suatu konsep
guru-murid yang secara kualitatif berbeda dengan konsep yang sebagian
besar masih dipakai sekarang ini. Alih-alih hubungan guru-murid dibayangkan
sebagai wahana untuk menyampaikan (baca: memberikan) pengetahuan dan
ketrampilan yang sudah ditentukan sebelumnya dimana guru ataupun murid
dapat dianggap bertanggungjawab (accountable), hubungan itu harus
menjadi ruang dialektika terbuka yang secara terus menerus dalam proses
belajar.

Peran guru hakikatnya adalah sebagai “peran yang secara empatik
menantang” (emphatetic challenging), karena mensyaratkan guru untuk lebih
reseptif, yaitu kepekaan guru untuk menerima ide-ide baru. Guru tersebut
disyaratkan untuk menjalin hubungan yang simpatik dengan anak didik—
namun bukan dengan cara menuruti kehendak dan dengan demikian
mematikan hubungan ini—tetapi lebih memicu semangat dan menantang
dalam pengertian apa yang harus ditawarkan mata pelajaran, apa “yang ada”
(on the move) dalam mata pelajaran itu, dan apa yang mungkin menjadi
persoalan penting bagi anak didik dalam hubungan ini.

Keterbukaan dan saling percaya merupakan karakter yang sangat
menentukan, dimana guru menerima pemikiran atau menantang pemikiran
anak didik dengan mendengarkan apa yang dipikirkan anak didik dalam
belajar. Dengan proses belajar yang dialogis tentu tidak akan terjadi
kekerasan dan pemaksaan kepada anak didik dalam belajar. Seperti refleksi
kritis Neil, ia mengatakan; saya percaya bahwa memaksakan apapun dengan
kekuasaan adalah salah. Seorang anak seharusnya tidak melakukan apapun
sampai ia mampu berpendapat—pendapatnya sendiri—bahwa itulah yang
harus dilakukan (A.S. Neil, Summerhill, 1968, hal 111).

Keterbukaan itu menyangkut terhadap segala aspek baru untuk
memberikan peluang kepada anak didik dalam menumbuhkan sikap
menghormati keberagaman (pluralitas), sebuah sikap yang menjadi dasar
objektivitas anak didik dalam memahami pengetahuan.

Fenomena pengembangan metodologi pembelajan saat ini sangat
variatif, namun menurut hemat penulis metode-metode tersebut belumlah
efektif untuk diaplikasikan dalam proses belajar. Karena keasikan belajar bagi
anak tidak hanya ditentukan oleh metode dan fasilitas yang lengkap, tetapi
juga kesempatan yang lebih banyak untuk bertanya dan mengkritik dalam
upaya mengeksplorasi pengentahuan.

Kenyataan ini hendaknya memberikan kesadaran guru bahwa
pendidikan bukan hanya menyampaikan nilai (transfer of value) atau
menyampaikan pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi juga mampu
menciptakan pengetahuan-pengetahuan baru dari realitas disekeliling anak
didik.

Klik Disini untuk download tulisan dengan format PDF : https://www.4shared.com/office/4RY_TNqgba/HAND-OUT_20_HAKIKAT_MENGAJAR_M.html


 Disadur dari hand out milik Penulis, dalam rangka merefleksi Hari Guru Nasional.





Nur Sayyid Santoso Kristeva
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
Mahasiswa Program Pascasarjana S2 Sosiologi FISIPOL UGM
Alamat Rumah: Jl. Urip Sumoharjo No. 71 RT. 03/ III Desa Mertasinga,
Kel. Cilacap-Utara, Kab. Cilacap, Prov. Jawa Tengah, Kode Pos. 53232
Telp. Rumah: (0282) 540437, Hp. 085 647 634 312






1 Response to "HAKIKAT MENGAJAR : MEMBIARKAN ANAK BELAJAR"