HARI SANTRI

HARI SANTRI

Islam Indonesia Berwajah Ceria

blogger templates

Senin, 28 November 2016 | Admin
Oleh  : Aji Muhammad Iqbal

Ada beberapa alasan yang membuat saya menulis berkenaan tentang "Islam Indonesia" , yang pertama, sebagai bahan kajian diskusi di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Ikaratan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), yang kedua, mempertegas identitas  dan realitas islam Indonesia yang harmonis. Karena keramahan dan kedamaian menjadi ciri islam Indonesia, islam yang kita jalani di bumi Indonesia ternyata memang benar-benar sangat menarik perhatian. Disaat adanya keberagaman kelompok yang mengatasnamakan islam dan membawa bendera islam, tetapi nyatanya membuat resah seisi dunia.

Mungkin yang sudah tidak aneh lagi ditelinga tentang "islam Indonesia". Ada KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan pribumisasi islamnya, KH Sahal Mahfudz dengan fiqh sosialnya, Prof. Hasbi Ash-Siddiqie yang melontarkan perluna fiqih Indonesia, dan lain sebagainya.

Tahun lalu (2015), sempat menjadi hangat diperbincangkan tentang "Islam Nusantara" yang dipelopori oleh Kalangan Nahdlatul Ulama, hingga pada muktamar NU yang ke-33 di Jombang Jawa Timur dijadikan sebagai tema muktamar. Perdebatan dikalangan masyarakatpun  muncul, tak ayal kritik pedaspun kerap mampir ke NU dari berbagai kalangan, mulai dari, mulai dari yang berilmu hingga yang minim ilmu, dari yang berduit hingga yang tak punya duit, dari yang punya jabatan tinggi hingga non pejabat, mereka tak mau ketinggalan dalam angkat bicara berkenaan dengan adanya "Islam Nusantara".

Pada dasarnya, islam merupakan agama yang "Rahmatan Lil A'lamin". Al qur'an secara tegas dan gamblang bahwa islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (Q.S. Al-Anbiya [21] : 107).

Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan dalam dakwahnya "Saya diutus oleh Allah SWT untuk  menyempurnakan akhlak manusia". Redaksi dari sabda Nabi Muhammad SAW sangatlah jelas bahwa, menolah keras segala bentuk kekerasan lainnya yang mengarah pada penistaan terhadap manusia.

Islam yang saat ini menjadi mayoritas di Indonesia, menunjukan bahwa islam memiliki diagram naik dalam konteks historis. Islam adalah agama pendatang di Indonesia, kalau saja islam tidak ramah dalam lingkungan sekitarnya, maka sudah dari dulu islam tentu mengalami kesulitan untuk ada di bumi pertiwi.

Beberapa catatan sejarah mengisyaratkan bahwa kerajaan islam telah berdiri di Nusantara pada akhir abad ke-13 M sampai abad ke-15 M. Sebelum proses islamisasi mendapatkan momentum pentingnya di tanah Jawa, yakni saat berdirinya kesultanan Demak. Hampir semua pakar sejarah sepakat, bahwa penyebaran islam di Indonesia melalui proses Difutif (menebar) dan Adaftif (penyesuaian), dan sebagain besar sangat menghindari metode penaklukan secara militer.

Menurut pengamatan cendikiawan Abdurrahman Wahidu (Gus Dur), dalam buku Membangun Demokrasi (1999), ketika islam datang ke Tanah Jawa, islam dengan cepat mampu beradaptasi dengan segala yang ada. Proses akulturasi dan adaptasi antara budaya  yang satu dengan budaya yang lain, dalam antropologi cultural disebut  konsep integrasi kultur. Ini tak dapat dihindari, karena pluralitas agama, budaya, dan adat isitiadat yang ada tidak bisa saling bergesekan.

Berbicara pluralitas, artinya bukan satu akan tetapi banyak/ majemuk. Sedangkan banyak itu artinya berbeda lantaran tidak semuanya sama. Maka dari itu, kita harus bisa menghargai pendapat orang lain yang berdeda dengan kita. Sebenarnya jikalau tuhan mau, bisa saja dengan mudah menciptakan semua manusia menjadi satu grup, golongan, kelompok atau bahkan agama. Namun tuhan tidak demikian, justru tuhan menunjukan kepada realitas bahwa hakikatnya manusia itu berbeda-beda.

Adapun yang menjadi keramahan Islam Indonesia, ialah memiliki konsep sebagai berikut :
  1. Tawasuth (moderat), yaitu sikap tengah-tengah, tidak extreme kiri maupun kanan. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini menjadi semangat dalam mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling terbaik.
  2. Tawazun (seimbang), yaitu sikap harmonis dalam mensinergikan dalil-dalil atau pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan sebuah keputusan dan kebijakan.
  3. Ta'adul (adil), yaitu sikap netral dalam melihat, menimbang, menyikapi, menyelesaikan segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau setara. Adil adalah sikap proporsional berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing.
  4. Tasamuh (toleran), yaitu sikap menghargai terhadap segala kenyataan, perbedaan dan keanekaragaman baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi, budaya dan lain sebagainya.

Menghormati  dan membela negara merupakan bagian terpenting dari keberadaan "Islam Indonesia". Saya sering teringat dengan steatmen Prof. Dr. KH Agil Sirodj, M.A.. Beliau mengatakan "sebelum kita berbicara agama, maka negaranya dulu harus kita selesaikan". Kalau kita deskripsikan steatment Pak KH Said tersebut, cukup menarik sekali dan bisa menjadi salah satu kunci berkenaan dengan keberadaan Islam Indonesia. Mengapa?. Karena Islam Indonesia memang  tidak meninggalkan sejarah perjuangan para pahlawannya.

Pada masa itu, para pahlawan dengan cucuran keringat dan darah dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, bagaimana pra tokoh-tokoh bangsa ini menyusun dan menetapkan adanya Pancasila, sebelumnya Piagam Jakarta dan menjadi permasalahan para tokoh agama ketika membincangkan mengenai sila pertama yang pada akhirnya dapat final dengan bunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa", semuanya itu  adalah demi cita-cita Kemerdekaan Indonesia, yaitu; Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur.

Meminjam istilah Ahmad Syafi'i Ma'arif, bahwa ""islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan harus ditempatkan kedalam satu nafas" . Artinya potret Islam Indonesia saat ini memang ramah, santun dan toleran, itu terjadi lantaran antara Islam, Keindonesiaan dan Kemanusiaan memiliki hubungan erat yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Semoga keberadaan Islam Indonesia yang utuh dapat menjadi promotor kedamaian di Dunia. Sehingga wacana pada akhir 2015 atau awal 2016 bahwa Indonesia akan menjadi kiblat peradaban islan dunia, benar-benar dapat terwujud. Aamiin.



Penulis adalah Mahasiswa Semester III Prodi PAI di STAIMA Kota Banjar, aktif di PMII Kota Banjar dan menjabat sebagai ketua Pengurus Rayon Tarbiyyah STAIMA Kota Banjar.

0 Response to "Islam Indonesia Berwajah Ceria"

Posting Komentar