Minggu, 20 November 2016 | Admin
Oleh : Adiyanto S.W.
Intensitas hujan yang tinggi beberapa pekan ini menjadi
salahsatu faktor penyebab terjadinya banjir di beberapa wilayah Jawa
Barat. Banjir melanda sebagian wilayah Purwakarta, Bandung, Karawang, dan
Kabupaten Bekasi.
Beberapa waktu lalu, banjir besar laksana "tsunami kecil"
meluluhlantahkan Kota Bandung. Dampak kerugian, baik material maupun non
material sudah pasti sangat besar. Terkait banjir besar di Bandung,
respon dari masyarakat cukup beragam. Ada yang mengekpresikan dengan
rasa prihatin. Tidak sedikit pula, yang mengkritik kinerja Pemerintah di
bawah komando Walikota Ridwan Kamil yang mereka anggap gagal dalam
penataan kota khususnya drainase air di Kota Bandung
Respon dari Kang Emil, sapaan akrabnya tidak reaksioner.
Justru, ia meminta maaf kepada masyarakat melalui akun media sosial.
Selain itu, ia memanggil para pihak terkait untuk melakukan koordinasi
dan penyelesaian persoalan banjir. Ia juga melakukan komunikasi ke
Pemerintah Pusat dan DPR sebagai wujud respon cepat dan konkret, bahwa
persoalan banjir bukan hanya tanggungjawab Pemkot Bandung. Karena banyak
proyek-proyek pembangunan yang menjadi domain pusat, tapi titiknya di
Kota Bandung.
Sebuah teladan bagus seorang pemimpin. Tatkala ada
persoalan yang merugikan masyarakat respon cepat bahkan tak sungkan
langsung meminta maaf. Tidak menghujat, tetapi berbuat cepat mencari
solusi yang tepat.
Bagaimana dengan Kabupaten Bekasi?.
Banjir melanda sebagian wilayah Kabupaten Bekasi hampir
setiap tahun. Khususnya wilayah utara dan timur. Diantaranya wilayah
Kecamatan Cikarang Timur, Kedungwaringin, Pebayuran, Cabangbungin
Muaragembong, dan Tarumajaya. Banjir menjadi persoalan klasik yang tak
kunjung selesai. Hampir tiap tahun, banjir datang dan jadi langganan.
Anggaran ratusan milyar untuk pembangunan tanggul sebagai
salahsatu konsep untuk menanggulangi banjir minim signifikansi.
Justru
tanggulnya jebol, entah seperti bagaimana teknologi dan konstruksi yang
digunakan dengan anggaran sangat besar itu. Nampak jelas, respon Pemerintah Daerah dalam hal ini Bupati
lambat. Tidak ada langkah konkret, yang dilakukan hanya sebatas
distribusi bantuan makanan, obat-obatan dan sejenisnya. Serta
penanggulangan bencana yang "diwakili" Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD).
Lagi-lagi rakyat jadi korban, lahan pertanian yang menjadi
mata pencaharian berubah jadi lautan. Rumah dan harta benda mereka
banyak yang tenggelam. Anak-anak sekolah diliburkan, pendidikan jadi
terabaikan. Aktivitas ekonomi terhenti, karena masyarakat sibuk berfikir
banjir bakal datang (lagi).
Lebih menyedihkan lagi, di Kabupaten Bekasi ada "Tol Laut".
Bukan tol laut yang ramai diwacanakan oleh rezim Jokowi. Tapi, air
yang menggenangi jalan tol di Kabupaten Bekasi. Tepatnya di ruas jalan
tol Jakarta-Cikampek wilayah kawasan Delta Mas Cikarang Pusat.
Di sisi lain, pembangunan menjamur dimana-mana. Para
pengembang (developer) sangat massif membangun perumahan, apartemen,
pusat perbelanjaan, ruko-ruko, dan industri. Namun, dampak lingkungan
seolah "absen" jadi perhatian baik dari swasta (pengembang) maupun
pemerintah. Sehingga masyarakat jadi korban dampak sosial-lingkungan
dari derasnya pembangunan tersebut.
Banjir seolah dibiarkan, buktinya banjir di tol terjadi
sudah dua kali dalam setahun. Fenomena yang memprihatinkan karena tidak
nampak adanya keseriusan dari pemerintah dalam menyelesaikan persoalan
banjir. Bantuan untuk korban banjir makin hari semakin banyak,
apalagi saat ini momen menjelang PILKADA. Para kandidat maupun tim
relawan berbondong-bondong memberikan bantuan sebagai wahana mencari
simpati masyarakat. Semoga tidak sampai di situ saja, para kandidat
calon Bupati seharusnya berfikir bagaimana solusi konkret jangka panjang
agar banjir tidak terulang lagi.
Banjir, bencana atau disengaja?. Masyarakat tidak sekedar
butuh mie instan, tidak perlu obat-obatan, tidak ingin nasi bungkus.
Mereka butuh "selimut" Pemerintah agar banjir berhenti jadi
"langganan". Banjir, seolah sengaja dibiarkan karena sangat potensial
dijadikan sebagai "lahan abadi" oleh para mafia anggaran. Tidak sedikit
kasus penggelapan anggaran terkait penanggulangan bencana. Sampai kapan
rakyat menderita gara-gara para durjana.
Rakyat butuh "solusi konkret" yang mampu mengurai masalah
banjir dari hulu sampai hilir. Bukan sekedar dikasih harapan dan
angan-angan. Sekali lagi, mereka tidak sekedar butuh mie instan. Yang
mereka butuhkan sawah tidak kebanjiran, rumah tidak terendam, harta
benda tidak hilang, dan pendidikan anak-anaknya tidak terabaikan. Sampai
kapan banjir jadi langganan?.
Penulis adalah Kader PMII Cabang Kabupaten Bekasi.
0 Response to "Sampai Kapan Banjir Jadi "Langganan" ?"
Posting Komentar