Rabu, 21 Desember 2016 | Admin
Oleh : Muhamad Harun Al-Rasyid
Bicara pendidikan sudah barang tentu menjadi
orientasi bangsa dalam mencerdaskan bibit-bibit tunas pemuda/i bangsa Indonesia
guna regenerasi mengolah tatanan kenegaraan bangsa, namun bagaimana jika adanya
unsur kegagalan dalam penerapan pendidikan di Indonesia, baik itu dari
kurikulum, mekanisme pengajaran, serta kurang meratanya dalam memfasilitasi
sarana dan prasarana dalam kegiatan formal pendidkan yaitu sekolah, terutama
kurang meratanya fasilitas sekolah di daerah bawah. Ini adalah salah satu
indikasi yang sangat fundamental gagalnya pendidikan di Indonesia.
Pada dasarnya pendidikan adalah laksana eksperimen
yang tidak pernah selesai sampai kapanpun, sepanjang ada kehidupan manusia di
dunia ini. Kenapa dikatakan demikian, karena pendidikan merupakan bagian
kebudayaan dan peradaban manusia yang terus berkembang. Hal ini sejalan dengan
pembawaan manusia yang meiliki potensi kreatif dan inovatif dalam segala bidang
kehidupannya. Bagi bangsa Indonesia, krisis multidemensi membawa hikmah dan
pelajaran yang sangat signifikan, yang pasti bangsa ini dapat belajar dari
kekeliruan-kekeliruan masa lalu yang begitu kompleks, hal ini seharusnya
menjadi evaluasi bangsa kita dalam mengolah pendidikan lebih baik lagi, namun
pada kenyataanya tidak sesuai dengan yang seharusnya.
Bicara idealitas atau keseharusan dengan melihat
kegagalan-kegagalan dahulu yang penuh dengan kekeliruan, hal tersebut
seharusnya dapat menatap dan membangun masa depan dengan semangat yang lebih
optimis untuk menjadikan pendidikan Indonesia lebih baik lagi. Sebelum lanjut
dalam pembahasan inti, penulis akan mendefinisikan pendidikan menurut para
ahli, selepas itu akan dipadukan dengan penerapan pendidikan di Indonesia.
Menurut Langeveld Pendidikan ialah setiap usaha,
pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada
pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap
melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa
(atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup
sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa. Dan Menurut
Bapak tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara Pendidikan yaitu tuntunan di
dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun
segala kekuatan kodrat/tabi’at yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan
kebahagian yang setinggi-tingginya.
Jika kita memperhatikan hakikat pendidikan menurut
para ahli, terutama bapak pendidikan kita yaitu Ki Hajar Dewantara sudah tidak
relevan lagi dengan penerapan pendidikan hari ini, justru semakin banyak
kekeliruan-kekeliruan, baik itu dari segi pengalokasikan anggaran untuk
pendidikan yang terbilang 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) sudah tidak merata dan banyak mafia-mafia yang interpensi dalam urusan
tersebut. Bagaimana orientasi pendidikan mau terealisasi kalau anggarannya pun
abu-abu atau tidak jelas dalam mengalokasikannya. Dan penerapan kurikulumnya
pun carut marut, serta adanya ketertindasan guru dalam berkreativitas, kenapa
demikian?, karena selalu berbenturan dengan aturan, pedoman, petunjuk dan
arahan dari pusat, sehingga ruang guru dalam berkreativitas terbatas.
Dan saya ingat sebuah nasihat dari seorang bijak,
bahwa hanya orang buta saja yang memerlukan pemandu atau tongkat. Sementara
itu, guru bukan seperti orang buta. Oleh karena itu, ketika guru terlalu banyak
diberi pedoman, petunjuk, arahan yang bersifat teknis, maka sama halnya dengan
mempersamakan mereka dengan orang buta. Berikanlah kepada guru ruang untuk
berkreativitas seluas-luasnya bukannya di berlakukan layaknya orang buta.
Selama dua hari berturut-turut, saya di ajak
berbicara tentang pendidikan di tempat yang berbeda, yaitu di Kampus dan
Sekretariat PMII STAI Haji Agus Salim Cikarang. Hari pertama di Kampus saya
mengemukakan betapa pentingnya faktor SDM, tegasnya guru atau dosen untuk
menjadikan lembaga pendidikan bermutu. Melihat realitas tidak sedikit orang
dalam mengembangkan lembaga pendidikan lebih mengutamakan terlebih dahulu
sarana dan prasarananya. Lembaga pendidikan yang gedungnya bagus dianggap
hebat. Apalagi gedung itu dilengkapi dengan taman yang indah, maka banyak orang
tertarik mendaftar di tempat itu, pandangan itu tidak seluruhnya salah. Gedung,
ruang kelas, tempat praktik, dan perpustakaan, dan lain-lin adalah penting. Dan
orang tidak akan belajar dengan baik dan benar tanpa adanya fasilitas yang
lengkap. Namun jika di kritisi dalam berbincangan saya di kampus, justru ini
ada kekeliruan dalam mengolah lembaga pendidikan, yang lebih mengedepankan
kualitas cover ketimbang isi, padahal kualitas pendidikan sebenarnya sangat
tergantung pada kualitas guru, dosen atau tenaga pengajar itu. Bukannya
tergantung pada kualitas gedung atau taman-taman.
Atas dasar pemahaman seperti itu, maka umumnya
pengurus lembaga pendidikan lebih memilih segera mempercantik gedung dan
tamannya dari pada meningkatkan kualitas guru, dosen, atau tenaga pengajarnya.
Akibatnya banyak lembaga pendidikan yang memiliki sarana dan prasarana yang
bagus, tetapi guru atau dosennya tidak terlalu diurus, baik terkait peningkatan
pendidikannya, profesionalitasnya, wawasan dan bahkan kesejahteraannya.
Sejatinya, jika memang pendidikan mau terlihat berkualitas, maka kualitaskan
terlebih dahulu isi (guru, dosen, dan tenaga pengajar) jika isinya sudah
dikualitaskan barulah covernya (gedung, dan taman taman). sekilas hasil dari
diskusi saya di kampus dengan teman-teman.
Berlanjut hari kedua saya melanjutkan perbincangan
terkait pendidikan dengan teman-teman di Sekretariat PMII STAI Haji Agus Salim
Cikarang, dengan pembahasan; Pro dan
Contra dalam penerapan Ujian Nasioanl (UN) untuk standar kelulusan siswa?. Peran guru dalam mengajar yang baik dan benar
?. Efeketifitas fullday dalam pendidikan formal ?
Pembahasan pertama dapat disimpulkan dari berbagai
pendapat bahwa penerapan Ujian Nasonal (UN) memang baik, tidak terlepas dalam
metode pengajaran bahwa didalamnya tertulis setiap pengajaran harus ada yang
namanya evalusi, dan Ujian Nasional (UN) adalah salah satu implementasi dari
evaluasi.
Pembahasan kedua dapat disimpulkan dari berbagai pendapat bahwa peran
guru dalam mengajar memang tidak terlepas dengan tanggung jawab yang sangat
berat dipikulnya demi tercapainya tujuan pendidikan, namun bagaimana ketika
kita memiliki murid yang kurang pintar dalam memahami materi (bodoh) dan
bagaimana sikap kita ?, apakah harus fokus kepada murid tersebut sampai murid
itu faham ataukah lanjut materi ?. Dalam buku yang berjudul “Seperti Inilah Seharusnya
Menjadi Guru” di dalamnya tercatat bahwa
guru harus adil dalam mendidik, adil disini artinya bukannya sama rata, tapi
harus lebih memilih mana yang seharusnya lebih membutuhkan, ketibang hanya
sekedar butuh. Memang bicara penyakit guru yang hari ini masih belum terobati
yaitu selalu selektif dalam memilih murid yang cerdas dan mudah dalam memahami
materi, ketimbang murid yang sulit dalam memahami materi, penyakit ini harus di
buang jauh-jauh jangan menjadi penyakit terus membudaya bagi guru di Indonesia.
Pembahasan ketiga dapat disimpulkan dari berbagai
pendapat bahwa kami semua sepakat tidak efektifnya pembelajaran jika
terus-menerus di olah dalam pendidikan formal, dalam buku “Menghidupkan Ilmu
Jiwa” karya Prof. Dr. Imam Suprayogo MSi., dalam halaman 14 mencatat bahwa
terlalu percaya kepada pendidikan formal dengan mengabaikan kemampuan yang
diperoleh secara informal maka bangsa ini akan merugi, sudah jelas pendidikan
yang efektif dan efisien itu tidak perlu waktu lama dalam pendidikan formal,
apalagi bicara pendidikan di Indonesia, justru
ketika terus-menerus berada dalam lingkungan sekolah siswa tersebut akan buta
dengan ilmu sosial dan akan cenderung apatis terhadap realitas sosial dan juga
bersikap individualistik.
Menurut Antonio Gramsci seorang pemikir dari Italia
mengatakan bahwa setiap orang memiliki potensi intelektual, tapi tidak semua
intelektual menjadi fungsi sosial. Artinya percuma siswa terus-terusan digodog/
diolah dalam pendidikan formal dengan tujuan meningkatkan kecerdasan
intelektual dan pada akhirnya apatis terhadap realitas sosial buat apa ?.
Seharusnya pendidikan formal dan informal harus
balance atau seimbang jangan terlalu mengedepankan pendidikan formal jadi
nantinya pendidikan Indonesia ini seakan-akan hanya formalitas belaka. Oleh
karena itu saya sebagai pelajar dalam pendidikan di Indonesia sangat
mengapresiaisi atau memberi penghargaan yang sebesar-besarnya bagi pemerintah
pusat yang sudi memikirkan hal ini dan berusaha untuk menjadikan pendidikan
Indonesia menjadi lebih baik lagi, lebih progresif dan produktif dalam mencetak
gerenasi bangsa yang cerdas, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi
pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, serta sehat jasmani dan
rohani, kepribadiaan mantap dan mandiri, dan bertanggung jawab terhadap
masyarakat dan bangsa.
Demikian artikel yang sangat sederhana ini saya
buat, saran serta kritik sangat saya harapkan dari para pembaca guna membuat
saya lebih baik lagi untuk kedepannya.
Salam Pergerakan…!!!
***
Penulis Mahasiswa Semester III Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) dan tercatat sebagai anggota di PK PMII STAI Haji Agus Salim Cikarang
0 Response to "Indikasi Gagalnya Pendidikan di Indonesia"
Posting Komentar