Semenjak mengikuti Orientasi Pengenalan Kampus (OSPEK), aku memang tertarik kepada organisasi-organisasi "eksternal" yang diperkenalkan kepada peserta. Awalnya aku tertarik dengan PII (Pelajar Islam Indonesia), dikarenakan paparan dan gambaran organisasi yang disampaikan oleh "marketing"-nya bikin aku minat masuk. Salah satu isi materi yang disampaikan ialah gagasan yang memadukan pemikiran model pendidikan umum dan khazanah pesantren.
Ketertarikan itu
hanya sampai di forum ospek saja, disebabkan tidak ada 'cerita lanjutan'
dari para punggawa PII untuk melaksanakan pengkaderan. Singkat cerita,
akhirnya aku hanya menjadi mahasiswa kupu-kupu. Kuliah pulang, kuliah
kerja, itulah rutinitas yang mengisi waktu di satu semester awal
kuliah.
Pada suatu waktu,
aku diajak teman sekelas untuk mengikuti (katanya) MAPABA (Masa
Penerimaan Anggota Baru) PMII. Di dalam ruangan yang "belum rampung" itu
aku duduk sambil mendengarkan apa yang disampaikan para organisatoris
PMII. MAPABA dan PMII, dua kata yang masih asing di telinga ku (waktu
itu), yang kemudian hari justru sangat "akrab" bukan hanya dengan
telinga, tapi aku merasa sudah mendarah daging (internalized value).
Hehehee.....!!!!
Di acara yang
tempatnya sederhana itu, aku tak terlalu fokus dan serius mengikutinya.
Aku berpandangan, waktunya ngaret, engga ada konsumsi, tempatnya engga
nyaman, intinya kurang tertarik untuk ikut. Selain itu, sore harinya aku
harus pulang karena masuk kerja shift 2.
Menjalani kuliah
sambil kerja. Atau bisa disebut juga kerja sambil kuliah. Membuat waktu
terbagi, pikiran terbelah, bahkan finansial terkuras. Hari demi hari aku
jalani rutinitas tersebut. Meskipun, hati kecil ini memiliki keinginan
untuk segera keluar (resign) bekerja. Karena waktu kerja dan kuliah
seringkali "bentrok", yang berdampak aku harus mengorbankan waktu
kuliah.
Pikiranku terus
dihantui ingin keluar kerja, harapan untuk fokus kuliah dan ikut
berorganisasi terus bergelayut dalam alam pikiranku. Suatu waktu aku
kembali diajak ikut proses MAPABA. Aku bimbang karena bakal benturan
dengan waktu kerja. Akhirnya aku putuskan ikut kegiatan MAPABA. Aku ikut
MAPABA selama tiga hari, dan aku menelpon atasanku dengan alasan sakit.
Setelah aku
pulang dari kegiatan MAPABA, esok hari pergi ke klinik untuk minta surat
keterangan sakit. Drama, yang kemudian hari aku sebut sebagai "jurus
tipu-tipu" aku mainkan. Sebelum ke klinik, malam harinya aku dikerok
seolah masuk angin. Dengan menampilakan muka pucat, dan ada bekas
kerokan aku datang ke klinik. Terus diperiksa, tak lama dibuatkan juga
surat keterangan sakit untuk bukti ke perusahaan. Ada kesan lucu
bercampur sedih karena adanya pertentangan antara harapan dan kenyataan.
Terkadang, aku menangis dalam lamunan menghadapi kenyataan ini. Bahkan, aku pernah mengalami fase "kebuntuan" dalam menghadapi situasi. Rasa putus asa melumuri langkah hidupku. Seperti tak ada harapan masa depan, penyesalan akan masa lalu jadi penghias isi otak-ku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak masuk kuliah dalam kurun waktu hampir 4 bulan.
Terkadang, aku menangis dalam lamunan menghadapi kenyataan ini. Bahkan, aku pernah mengalami fase "kebuntuan" dalam menghadapi situasi. Rasa putus asa melumuri langkah hidupku. Seperti tak ada harapan masa depan, penyesalan akan masa lalu jadi penghias isi otak-ku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak masuk kuliah dalam kurun waktu hampir 4 bulan.
Semangat kuliah
terus surut, aku hanya fokus bekerja dan mengisi waktu luang dengan
lahapan buku-buku yang berceceran di lemari reot. Seiring waktu, pernah
ada rencana untuk pindah kuliah. Sampai-sampai aku menyambangi beberapa
kampus buat jadi referensi.
Seiring
perjalanan waktu, dialektika antara asa dan realita berujung pada
pilihan. Pilihan untuk 'kembali' melanjutkan kuliah di tempat yang sama.
Aku tidak jadi pindah kampus. Pilihan tersebut tidak lepas dari
dorongan, motivasi teman dan sahabat khususnya teman satu kelas.
Akhirnya aku melanjutkan kuliah meskipun bercampur rasa malu
dikarenakan sudah lama tidak masuk kuliah. Dan yang membuat agak sedih,
namaku sudah "dihapus" di daftar absen kampus. Dengan memasang muka
tebal, modal pede (percaya diri) aku merajut kembali semangat yang
sempat pudar.
Setelah aktif
kuliah lagi, spirit untuk aktif organisasi masih melekat. Semangat untuk
ikut berorganisasi adalah hasrat yang sudah lama terpendam. Karena aku
adalah anggota PMII yang "menghilang" setelah dibai'at saat MAPABA. Tak
lama kemudian, kerja habis kontrak. Karena memang aku tidak ada
keinginan untuk menjadi karyawan tetap (permanent worker). Menurut ku,
aktivitas kuliah sambil kerja "mengkerangkeng" untuk aktif di organisasi
dan fokus kuliah.
Waktu terus
bergulir, aku mulai aktif (lagi) ber-PMII. Mulai beproses dan mengikuti
Pelatihan Kader Dasar (PKD) di Purwokerto, Jawa Tengah. Setelah itu,
intensitas kuliah dan berorganisasi semakin meningkat. Lambat laun mulai
merasakan menjadi "mahasiswa beneran". Dan terus menerus mengkaji dan
memahami PMII. Menjadikan PMII sebagai lahan belajar, memposisikan PMII
sebagai ruang kawah chandradimuka.
Beberapa bulan setelah PKD, bersama dengan kader-kader
lainnya, terutama sahabat Jaya Hartono aku mengurus adiministrasi dan
segala kebutuhan lain untuk menyelenggarakan Rapat Tahunan Komisariat
(RTK). Sebelumnya, Komisariat STAI Haji Agus Salim Cikarang sempat
mengalami dinamika organisasi yang cukup sengit. Konflik dan gesekan
para pendahulu(senior) membuat kepengurusan terbengkalai dan bahkan
sempat vakum. Singkat cerita, akhirnya RTK terlaksana dan dianggap sah.
Hasil dari RTK menghantarkan aku menjadi Ketua Komisariat Masa Khidmat
2013-2014 mengungguli sahabat Jaya Hartono melalui pemilihan langsung.
Hari demi hari,
kita berproses. Mengurus SK, belajar administrasi sampai diskusi di
Komisariat. Sebenarnya, aku belum siap untuk jadi Ketua Komisariat. Aku
hanya anggota yang tidak aktif setelah MAPABA. Bahkan dari sisi
akademis, kuliah sempat "cuti" sendiri. Hehehe. Aku merasa tidak pantas
sesungguhnya. Namun, perasaan itu sirna lambat laun lantaran semangat
yang tinggi untuk belajar dan berproses.
Aku semakin
bersemangat, lantaran bisa fokus kuliah dan berorganisasi yang sudah
lama diidam-idamkan. Berkat PMII, aku bisa mengikuti agenda besar di
luar daerah seperti Kongres BEM/DEMA PTAI Se-Indonesia di Wonosobo Jawa
Tengah medio 2013. Padahal, aku bukan pengurus BEM. Itulah PMII, jika
kita mau, yakin pasti bisa. Kebanggaan ku semakin besar dan apalagi masa
itu rencana pemekaran PC PMII Kabupaten Bekasi semakin kencang
bergulir. Motivasi semakin kuat untuk terlibat dalam sejarah PMII
Kabupaten Bekasi.
Agenda dan
kerja-kerja organisasi dilaksanakan. Kaderisasi diselenggarakan,
seminar, silaturrahim alumni/senior dilakoni, membangun koneksi jaringan
dilakukan demi mengembangkan organisasi. Tradisi Tahlilan, Yasinan,
Peringatan Hari Besar Islam, kita selenggarakan sebagai manifestasi
nilai-nilai Aswaja, khususnya ke-NU-an di tataran Kampus. Meski bukan
santri aku merasa ada kebanggaan karena mampu menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan yang "akrab" dengan tradisi kaum santri. Walaupun
banyak kekurangan di sana sini. Pengurus dan anggota yang aktif sedikit,
karena aku menganggap di masa-ku mahasiswa yang melek organisasi sangat
sedikit. Fakta itu tidak membuat aku patah arang, bersama
sahabat-sahabat yang mau bergerak kami terus melanjutkan perjuangan.
Dan di sisi lain,
wacana serta propaganda pemekaran terus digulirkan. Melalui perjalanan
panjang dan berliku, akhirnya PC PMII Kabupaten Bekasi terbentuk melalui
forum Konfercab I 17 April 2014. Sahabat Ombi Hari Wibowo (Komisariat
INISA/Yapink Tambun) terpilih menjadi ketua pertama. Lewat rapat
formatur, aku menjadi sekretaris. Sebuah posisi yang berat bagiku saat
itu untuk menjabat sebagai sekretaris. Bicara etika dan regenerasi
organisasi, masih banyak kader di atas aku yang layak dan pantas mengisi
posisi Sekretaris.
Dalam sebuah
perenungan(refleksi) perjalanan di PMII, aku merasa tidak pantas ikut
dan aktif di PMII. Aku bukan santri jebolan Pesantren, karena PMII
bagaimanapun dilahirkan oleh restu Kiyai/Ulama Pesantren dan
mahasiswa-mahasiswa double basic (Mahasiswa-Santri). Aku hanyalah anak
kampung yang ngaji malam hari (maghrib-isya) dengan pelajaran sederhana.
Belajar alif, ba' ta....dst..., bersama guruku yang cuma level ustadz
kampung. Selain itu, aku sekolah, dari tingkat dasar sampai SMA di
sekolah "made in Belanda" alias sekolah umum. Yang pelajaran agamanya
tidak lebih 2 jam dalam seminggu. Asupan pendidikan keagamaanku sangat
minim. Aku hanyalah seorang abangan.
Di sisi lain, aku
sudah terlanjur berproses di PMII. Jadi, banyak hal yang aku dapatkan.
Banyak sesuatu yang aku tahu berkat mengikuti PMII. PMII menjadikan aku
untuk terus membaca, diskusi, berfikir sebagaimana jargon populernya.
Baca, diskusi, aksi. Bahkan, aku tahu Nahdlatul Ulama (NU) secara lebih
mendalam ketika ikut PMII. Guruku di Kampung tak pernah memberitahu, apa
itu NU, apa itu Aswaja. Di kemudian hari aku baru tahu, tradisi
keagamaan yang sudah lama berjalan dan banyak kesamaan ternyata itu
amalan NU. Semua itu berkat aku "nyantri" di PMII.
Aku jadi
terdongkrak untuk terus mengupgrade khazanah pengetahuan tentang NU dan
PMII melalui buku-buku, media online atau berdiskusi. Terus menerus
terpacu untuk meneropong tradisi keulamaan, pesantren sampai kitab-kitab
kuning yang menjadi ciri khas pesantren. Aku banyak numpang "tidur" di
rumah Gus Imam (M. Imam Sofwan) sambil diselingi kongko dalam rangka
menelusuri relung-relung khazanah pesantren. Sekaligus tabbarukan karena
beliau putra Kiayi yang cukup masyhur pada zamannya;KH. Abubakar
Sanusi(Kaum Kali jeruk Cikarang Barat). Tak sedikit, gagasan, ide dan
gerakan yang lahir dari gedung yang populer disebut "lantai II" itu.
Keraguan dan
perasaan tidak pantas masuk PMII kadang datang dan pergi. Terlebih, saat
forum pengajian dan diskusi dengan kakak idelogis,yaitu Ansor. Apalagi
dengan orangtua yaitu NU. Aku seringkali minder, ketika mendengar
bahasa-bahasa pesantren sebagai identitas yang orisinil dari NU(termasuk
PMII di dalamnya). Tapi, aku sering inget kata-kata salah satu tokoh
Masyumi, Mohammad Natsir, "Jalan saja nanti juga ketemu jalan di jalan".
Sebuah kata yang seringkali dijadikan pompa semangat disaat gairah
pergerakan sedang surut.
Aku sadar,
sebenarnya aku tak layak masuk PMII. Tak pantas berada di jajaran
pimpinan organisasi PMII. Aku tak bisa baca kitab kuning, tak becus
bahasa arab, tak banyak hafal hadits apalagi al qur'an. Aku bukan 'Gus',
Aku bukan produk pesantren. Akan tetapi, aku ingin menjadi santri (di)
PMII.
Oleh: Adiyanto Saputra Wijaya
(Anggota yang pernah "menghilang"di PMII setelah di Bai'at)
(Anggota yang pernah "menghilang"di PMII setelah di Bai'at)
Oooh seperti itu....iyaiyaiya
BalasHapusMantap pak ketum,jadi nambah motivasi lagi di pemikiran saya....
kereeen...
BalasHapusKaga kebayang kalo si ketum masuk "PII" ... Hahaaa Piss
BalasHapusJangan di bayangin atuh mamang aldo...
BalasHapus