HARI SANTRI

HARI SANTRI

Pesan Buruh untuk Mahasiswa dan Santri: Jagalah “Tradisi” di era Industri.

blogger templates

12 Agustus 2016 | Admin
Oleh  : Adiyanto S. Wijaya


Ketika baru saja sampai di rumah setelah seharian menjalani rutinitas bekerja, Tiba-tiba segerombolan jama'ah masjid yang selesai menunaikan berjama'ah ibadah sholat ashar memanggilku untuk mengajak menghadiri acara syukuran. Aku terdiam sejenak untuk berpikir, harus ikut atau tidak. Karena rasa lelah berbalut malas tiba-tiba datang menghampiri.

Tapi, pergulatan rasa itu berakhir dengan kebaikan. Lantas aku pun bergegas berganti kostum dan berwudhu dalam balutan cucuran keringat karena tersengat teriknya matahari sore di kampung pinggiran kawasan industri. Dan aku pun melangkahkan kaki untuk turut hadir meskipun dengan jama'ah ala kadarnya. lumayan "makan gratis", ungkap diriku dalam hati.

Berdasarkan informasi yang didapat sejatinya malam ini ada dua acara Syukuran rumah baru. Pertama, acara Syukuran kelahiran anak(Aqiqah) - biasa disebut Marhaba-an (bahasa sunda) - dengan membaca kitab maulid al barjanzi. Kedua, acara tahlil 100 hari (sedekahan atau tahlilan) serta acara Ta'lim rutinan malam senin, kata. Jadwal yang cukup "padat" terutama untuk pemimpin do'a atau Ustadz/Kyai.

Dengan pertimbangan waktu disebabkan acara terlalu banyak , sehingga acara pun harus dimulai sejak ba'da ashar, padahal biasanya dilaksanakan Ba'da Maghrib. Masyarakat mengikuti apa yang telah ditentukan oleh Ustadz atau Kiayi. Mereka “ta'dzim” dan 'patuh' disebabkan akhlak dan keilmuan yang dimiliki Ustadz itu sebagai sang pemilik “otoritas” keagamaan dalam kehidupan masyarakat. Meskipun kadang sering mendapatkan gelar sebagai "Ustadz Kampung", karena memang berdomisili di Kampung.

Tradisi seperti itu sudah mendarah daging (internalized value) dalam pola keberagamaan di masyarakat, khususnya masyarakat Desa(kampung). Juga telah menghangatkan perjalanan KeIslaman di Bumi Nusantara. Jadi, sejatinya tradisi itu harus tetap dijaga dan dilestarikan demi kelangsungan tatanan kehidupan sosial-keagaaman masyarakat kita. Terutama bagi generasi muda agar mampu mempertahankan tradisi-tradisi lokal yang memiliki fungsi sosial maupun religiusitas.

Ilustrasi Tahlilan | nukotatangerang.or.id

Sebagai seorang "buruh pabrik" ,  secercah harapan kulabuhkan kepada para 'santri' dan kepada para 'mahasiswa'. Aku menaruh ekspektasi tinggi agar kalian dapat menjaga tradisi yang sudah melekat di hati masyarakat ini. Sebagai kaum terpelajar kalian harus mampu membentengi kami dari mainstream pemikiran kelompok yang mengatasnamakan kaum modernis - anti tradisi - bahkan menganggapnya sebagai hal yang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.

Di tangan-tangan kalianlah idealisme kami ini  dititipkan. Karena santri dan mahasiswa adalah sekelompok generasi muda yang memegang tongkat estafet peradaban suatu bangsa. Dua elemen itu harus mampu menjadi Agent of change dan Agent of control dalam masyarakat dan senantiasa memiliki hasrat untuk mengabdikan diri untuk agama dan masyarakat ( Social-Religion Submission).

Dalam konteks abad millenium, berbagai diskursus pemikiran telah hadir di tengah kehidupan sebagai imbas derasnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Globalisasi, industrialisasi dan westernisasi sebagai ciri khas kehidupan modern, bukan berarti tidak membawa efek negatif bagi tatanan kehidupan masyarakat kita. Gaya hidup hedonis-materialistis hingga individualistis menjadi efek domino yang tak bisa dihindari dari sebuah modernisasi. Semua itu sudah mulai tampak menggerogoti warna kehidupan masyarakat kita dari kota hingga kampung, dari level borjuis sampai kasta sudra (grass root).

Terbukti , seringkali kita merasa enggan untuk menghadiri acara-acara seperti tadi. Kita lebih memilih tidur atau menonton televisi, baik sinetron maupun acara siaran langsung, seperti sepakbola. Kita lebih memilih 'jalan bareng' bersama pacar daripada menghadiri undangan tetangga. Saat ada tahlilan, tak jarang kita lebih memilih lembur saat bekerja bahkan lebih memilih bermain futsal.

Ilustrasi Besek/ Berkatan | google.com


Lebih baik shopping ke mall bersama teman atau keluarga atau sekedar  nongkrong-nongkrong dengan kolaborasi kongres(kongko ora beres-beres) daripada ikut acara syukuran atau ta'lim rutinan. Bukankah banyak hikmah yang terkandung dalam tradisi-tradisi semacam itu. Manfaat yang sangat terasa tentunya silaturahmi. Dan bisa “makan gratis” sebagai wujud keberkahan dari tradisi itu. Silaturahmi tentu saja dapat mempererat keharmonisan dan persaudaraan di dalam masyarakat. 

Berdasarkan yang saya baca di buku PMP, PPKN dan PKn , apalah itu namanya, saya menemukan “benang merah”  bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki kebersamaan tinggi atau istilahnya Gotong-Royong. Sebagaimana dikatakan Filsuf Yunani, Aristoteles manusia sebagai zoon politicon ( Makhluk Sosial). Bahkan Allah dan Rasul-Nya mengingatkan kita bahwa sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi sesama. Dimanakah jatidiri kita sebagai bangsa yang “guyub” dengan jargon Gotong Royong ???.

Dimanapun kita tinggal, baik pendatang atau pribumi seyogyanya kita harus berinteraksi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial-keagamaan, bukan hanya sebatas transaksi ekonomi.  Mempertahankan dan melestarikan tradisi seperti itu merupakan manifestasi dari kesholehan individu dan kesholehan sosial yang berdimensi duniawi sekaligus ukhrawi. Tradisi seperti itu sudah berlangsung sejak lama, dan sudah menjadi konsensus para ahli ilmu dalam memprensentasikan teks-teks keagamaan dalam kehidupan nyata.

Meskipun tumbuh subur di perkampungan bukan berarti 'kampungan'. Jadi itu hanyalah sebuah kreasi atau konsepsi dari para ulama sebagai penerus para nabi (waratsatul anbiya) dalam berdakwah. Kini, Gotong Royong seperti  “barang mewah” dalam kehidupann sosial masyarakat. So, Tradisi bukan Lawan dan Modernisasi Bukan Musuh


Ditulis tahun 2012 dan pernah dimuat di buletin LPM STAI Haji Agus Salim Cikarang.

0 Response to "Pesan Buruh untuk Mahasiswa dan Santri: Jagalah “Tradisi” di era Industri."

Posting Komentar