Gambar : Istimewa |
Jum'at, 11 November 2016 | Admin
Oleh
: Eman Sulaeman
Meskipun
sebagian besar para pahlawan telah wafat. Spirit persatuan, kebangsaan dan
perjuangan mereka tak turut pula wafat bersamaan dikuburkannya jasad. Warisan
kemerdekaan yang diberikan oleh para leluhur (pejuang) kemerdekaan bangsa
ini adalah sesuatu yang harus dijaga
oleh kita dan cita-cita luhur berupa kesejahteraan dimasyarakat perlu
diteruskan baik itu aspek ekonomi, pendidikan, pelayanan masyarakat, hukum dan
lain sebagainya. Itu bukanlah kewajiban pemerintah semata, namun menjadi
tanggung jawab seluruh element masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Artinya, tanpa ada pengecualian bagi insan
muda yang merupakan generasi penerus bangsa kedepannya.
Pada
berbagai tulisan berkenaan peristiwa 10 november, banyak kita jumpai ulasannya.
Aroma semangat perjuangan begitu kental disana, persatuan seluruh element
rakyat Indonesia berbaur menjadi satu guna tujuan yang sama, yakni
mempertahakan kedaulatan Bangsa
Indonesia.
Pertempuran
10 november tercatat sebagai salah satu perang
terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Bagi Pihak Inggris
pertempuran 10 november mendapat julukan
“neraka” bagi meraka karena begitu menguras tenaga dan kerugian biaya yang tak sedikit. Inggris yang begitu
jumawa, bahwa kota Surabaya dapat ditaklukan dengan tempo waktu 3 hari,
terkejut ketika mendapatkan perlawanan yang sengit dari segenap pejuang
Indonesia hingga memakan waktu berminggu-minggu.
Kerugian
sama-sama besar dari kedua belah pihak dan kemenangan mampu diraih oleh para
pejuang Indonesia ditanah are-are Surabaya.
Realitas spirit pahlawan kini
71
tahun sudah ukiran sejarah 10 november berlalu, gelora semangat pejuang kini
mulai terdengar santer gaungnya karena berkenaan dengan hari Pahlawan Nasional
yang ditetapkan pada 10 November setiap tahunnya.
Bila
dulu kalangan muda mahsyur dengan semangt menggeloranya dan memotori hampir
semua gerakan revolusi kemerdekaan kini pemuda selaku pewaris kemerdekaan, spirit
perjuangan pahlawan mulai sayup-sayup dan terlihat samar-samar dalam insan
setiap pemuda.
Sebagian
besar pemuda terjajah oleh kenikmatan yang membuat lupa akan tanggung jawab
penerus perjuangan. Perjuangan dimaknai dalam ruang yang amat sempit,
perjuangan individu memerdekaan diri atau keluarganya dari belenggu kemelaratan
misalnya dan lain sebagainya yang bersifat individualis.
Itu
bagi mereka yang mampu merdeka. Namun bagi mereka yang belum?. Yang tak punya senjata
dan cara guna berjuang dari kemelaratan?. Biaya hidup dan pendidikan yang mahal,
justru masih menjadi pengganjal perjuangan anak bangsa kedepannya. Ini mirip
pada era revolusi dimana kemelaratan, kesulitan pangan dan pendidikan adalah
pemandangan rutinitas sehari-hari yang membedakan hari ini bangsa sudah merdeka
dan berdaulat.
Menjadi
suatu kerinduan ditengah-tengah masyarakat hadir figure-figur anak bangsa yang
memiliki spirit pahlawan yang rela berjuang bersama rakyat untuk keluar dari
kungkungan segala bentuk kesusahan dan ketidakberdayaan yang menjajah dengan
sporadis.
Kungkungan zona nyaman (Comfort Zone) yang membuat lalai
Pasca
proklamasinya Negeri ini, lambat laun mengikis spirit pahlawan dalam diri
setiap insan rakyat Indonesia yang lantas mengungkung dalam keengganan berbuat
sesuatu di masyarakat. Sedangkan pihak luar siap untuk kembali menjajah bangsa
ini meskipun tidak dengan cara seperti era Revolusi 45.
Comfort
Zone inilah musuh yang menyusup kedalam diri pemuda yang lambat laun menggerogoti
potensi besarnya sehingg pemuda terjebak dalam kemerdekaan individualisnya
masing-masing dan baik sadar maupun tidak, menjadi lupa untuk menuangkan
spirit pahlawan terhadap tanggung
jawabnya sebagai penerus bangsa ditengah-tengah masyarakat.
Kita
harus mampu keluar dari zona nyaman dan memberikan sesuatu untuk masyarakat
dari apa yang kita mampu/ punya. Bersosial dengan masyarakat adalah menjadi
kewajiban, agar mampu merasakan dinamika bermasyarakat dan mampu menangkap
problem sosial yang ada.
Dari
situlah kita akan mampu memberikan sesuatu sesuai dengan kemampuan diri
masing-masing dan tentu saja kita bias sendiri, melainkan perlu patner dalam
merealisasikannya. Karena para pahlawan terdahulupun berjuang untuk merdeka
tidak sediri-sendiri melainkan bersama-sama dengan menjunjung visi yang sama.
Mengaktualisasikan semangat juang
Meski
Indonesia telah merdeka, namun perjuangan
rakyat meraih kesejahteraan tidak pula berkesudahan. Menyalahkan pemerintah
bukanlah jawaban yang bijak, diatas ditertulis bahwa itu adalah tanggung jawab semua
element masyarakat, terlebih kalangan pemuda dalam membantu memerdekaan masyarakat
Indonesia dari ketidakberdayaan yang mencengkram.
Orang-orang
melarat begitu rindu figur pahlawan yang mampu memerdekaan mereka dari kemelaratannya,
anak-anak putus sekolah begitu rindu pahlawan yang mau mencerdaskan mereka
meskipun mereka telah putus sekokah, kaum penganggur begitu menanti pahlawan
yang mampu memapukan mereka agar mendapat/ menciptakan pekerjaan dan lain
sebagainya.
Pada
kondisi yang demikian, kondisi pemuda kini kurang mampu peka terhadap realitas
dimasyarakat dan meskipun peka namun tak tahu harus memulai dengan bagaimana. Insan
muda yang terjajah oleh kemerdekaan individunya sendiri tanpa sadar tergerogoti
oleh sikap apatis (acuh tak acuh) dan hedonis (kesenangan diri) yang menjauhkan
kita dari spirit kepahlawanan.
Sudah
sepatutnya kita belajar dari sejarah, terutama kalangan muda Indonesia dalam
merefleksikan hari Pahlawan Nasional ini kedalam hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara dengan berupaya berbuat sesuatu untuk khalayak masyarakat yang
merindukan figure-figur pahlawan yang mempimpin mereka berjuang menuju
kemerdekaan dari kungkungan ketidakberdayaan disegala aspek kehidupan.
***
Penulis tercatat sebagai kader PMII Cabang kabupaten Bekasi.
Merdekaaaaaaaa .....
BalasHapus