Rabu, 16 November 2016 | Admin
Bangsa Indonesia kembali mendapat hadiah dari Presiden Jokowi. Gelar pahlawan nasional resmi disandang oleh KHR As’ad Syamsul Arifin lewat Kepres Nomor 90 yang disahkan 3 November 2016.
Bangsa Indonesia kembali mendapat hadiah dari Presiden Jokowi. Gelar pahlawan nasional resmi disandang oleh KHR As’ad Syamsul Arifin lewat Kepres Nomor 90 yang disahkan 3 November 2016.
Sosok
Kyai As’ad sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Perjuangannya
dalam melawan penjajah dilakukannya dengan penuh tulus ikhlas dan total.
Tidak segan, Kiai As’ad mengeluarkan biaya besar dalam mengkonsolidasi
pasukan Hizbullah-Sabilillah bersama TNI menumpas penjajah.
Siapakah
sosok fenomenal KHR As’ad Syamsul Arifin itu? Ia bernama As’ad putra
pertama dari KH Syamsul Arifin (Raden Ibrahim) yang menikah dengan Siti
Maimunah. Kiai As’ad lahir pada tahun 1897 di perkampungan Syi’ib Ali
Makkah dekat dengan Masjidil Haram.
Garis
kerurunannya berasal dari Sunan Ampel Raden Rahmat, yakni: Kiai As’ad
bin Kiai Syamsul Arifin bin Kiai Ruhan (Kiai Abdurrahman) bin Bujuk
Bagandan (Sidobulangan) bin Bujuk Cendana (Pakong Pamekasan) bin Raden
Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) bin Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Perjuangannya
dalam menegakkan agama Islam ahlussunnah wal jama’ah sungguh luar
biasa. Termasuk Kyai As’ad dikenal sebagai figur yang gagah berani
mengatakan kebenaran. Tidak salah jika kemampuan agamanya dipadukan
dengan beladiri yang membuatnya dikenal sakti mandra guna.
Kiai
As’ad menempuh pendidikan di Makkah sejak usia 16 tahun dan kembali
ngaji di Jawa. Guru-gurunya di Makkah antara lain: Sayyid Abbas Al
Maliki, Syaikh Hasan Al Yamani, Syaikh Bakir Al Jugjawi dan lain-lain.
Sepulangnya
ke tanah Jawa, ia belajar di berbagai pesantren: Ponpes Sidogiri (KH
Nawawi), Ponpes Siwalan Panji Sidoarjo (KH Khazin), Ponpes Kademangan
Bangkalan (KH Kholil) dan Ponpes Tebuireng (KH Hasyim Asy’ari).
Wajar
bila keilmuan agama Kiai As’ad sangat luar biasa. Dengan bekal ilmu
itu, ia meneruskan perjuangan ayahandanya membesarkan Ponpes Salafiyyah
Syafi’iyyah. Sejak 1938, Kyai As’ad mulai fokus di dunia pendidikan.
Lembaga pendidikan itupun dikembangkan dengan SD, SMP, SMA, Madrasah
Qur’an dan Ma’had Aly dengan nama Al-Ibrahimy (sesuai nama asal
ayahandanya).
Peran Kiai As’ad dalam pendirian
organisasi Nahdlatul Ulama (NU) sangat nampak sekali. Dimana ia
merupakan santri kesayangan KH Kholil Bangkalan yang diutus menemui KH
Hasyim Asy’ari memberi “tanda restu” pendirian NU.
Dua
kali Kiai As’ad diminta sowan Mbah Hasyim. Yang pertama dijalani dengan
jalan kaki dari Bangkalan Madura menuju Tebuireng. Adapun yang kedua
dilakukan dengan naik mobil angkutan.
Dua
“restu” KH Kholil pada Mbah Hasyim itu berupa tongkat dengan bacaan
Surat Thaha ayat 17-23 dan tasbih dengan bacaan dzikir: Ya Jabbar Ya
Qahhar. Ketika pertama menerima tongkat itu, Mbah Hasyim menangis. “Saya
berhasil mau membentuk jam’iyyah ulama” tegas Mbah Hasyim di hadapan
Kyai As’ad.
Atas jasa Kiai As’ad sebagai
penyampai isyarat langit dari Syaikhana Kholil inilah, NU berdiri. Maka
ada sebutan empat serangkai ilham berdirinya NU itu terdiri dari: KH
Kholil, KH Hasyim Asy’ari dan KH As’ad Syamsul Arifin.
NU
bagi Kiai As’ad bukan organisasi biasa, tapi organisasi para
waliyullah. Maka harus dijaga dengan baik. Sebab dengan NU itu Indonesia
akan dikawal waliyullah, ulama dan seluruh bangsa Indonesia.
“Saya
ikut NU tidak sama dengan yang lain. Sebab saya menerima NU dari guru
saya, lewat sejarah. Tidak lewat talqin atau ucapan. Kamu santri saya,
jadi kamu harus ikut saya! Saya ini NU jadi kamu pun harus NU juga,”
tegas Kiai As’ad.
Perjuangan Kiai As’ad dalam
mengusir penjajah sangat nyata. Bahkan Pondok Pesantrennya pernah
diserbu pasukan penjajah. Berkat kegigihannya, 10.000 orang yang ada
disana sudah bisa terevakuasi dengan baik. Kemahiran Kyai As’ad dalam
beladiri dan seni perang menjadikan pasukannya memenangkan pertempuran
di Bantal Asembagus dimana Belanda sempat mengepung markas TNI.
Ketegasan
Kiai As’ad dalam menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi NU sudah
tidak diragukan lagi. Saat Pemerintah mewajibkan penggunaan Pancasila
tahun 1982/1983, NU merespon cepat dengan menggelar Munas Alim Ulama di
Ponpes milik Kiai As’ad.
Tanggal 21 Desember
1983, Munas memutuskan menerima Pancasila dan revitalisasi Khittah 1926.
Pada bulan Desember 1984 dalam Muktamar NU XXVII diputuskan asas
Pancasila dan Khittah NU. Dan NU menjadi Ormas pertama yang menerima
Pancasila.
Gagasan besar KH Achmad Shiddiq
dalam menerima Pancasila ini diiyakan oleh KH As’ad bersama KH Mahrus
Ali, KH Masykur dan KH Ali Ma’shum. Akibat dari menerima Pancasila itu,
KH As’ad sering mendapatkan teror, surat kaleng dan ancaman mau
dibunuh.
Itu semua ia lewati dengan penuh
kebijaksanaan. Sehingga secara pelan-pelan Kiai NU dan para nahdliyyin
bisa menerima dan memahami di balik makna NU berpancasila, semata-mata
untuk keutuhan NKRI.
Di usianya ke 93, Allah
Swt memanggil Kiai As’ad. KH As’ad Syamsul Arifin berpulang
keharibaan-Nya pada 4 Agustus 1990 dan dimakamkan di komplek Ponpes
Salafiyyah Syafi’iyyah.
***
Disadur dari Laman NU Online
0 Response to "KHR As’ad Syamsul Arifin : Salah Satu Pejuang dan Tokoh NU Yang Diganjar Gelar Pahlawan"
Posting Komentar