HARI SANTRI

HARI SANTRI

Pancasila Perspektif Seorang Pemulung

blogger templates
 
Moment obrolan dengan Pak yanto dan temannya

Rabu, 16 November 2016
Oleh  : Aldo & M. Irfan Jaelani

Salah dalam menilai kriteria diri seseorang adalah kelalaian yang sering hinggap pada setiap individu, misalnya penilaian terhadap seseorang yang berprofesi sebagai pemulung. Pendidikan yang masih rendah, wawasan keilmuan yang minim, daya analisa yang kurang dan retorika yang mungkin sesuatu yang mungkin dianggap tak ada, itu melekat pada citra diri seorang yang berprofesi sebagai pemulung. Cara pandang seperti itu mungkin tak terkecuali bagi kita, terlebih yang jarang bersentuhan dengan kalangan mereka.

Namun siapa sangka, Pak Yanto (46) pria asal Purwokerto Jawa Tengah, seorang pemulung yang mendiami kolong jembatan Rawa Semut Kelurahan Margahayu Bekasi Timur, adalah lulusan SMA juga pernah mengenyam pendidikan agama di Ponpes Nurul huda Purwokerto, begitu luwes menguraikan Pancasila dari segi sejarah, makna, Bangsa dan Negara dengan semangat nasionalis yang menggebu-gebu.

Tempat bernaung Pak yanto dan temannya, tampak depan
Lelaki yang sejak kecil kedua orang tuanya telah tiada ini, dirawat oleh kakeknya. Seiring berjalan waktu dia menjadi sosok mandiri dan kritis, tak jarang pula ia mengkritisi guru dan teman-temannya, semua itu sering berbuah diskriminasi pergaulan kepadanya.

Ia mendapatkan wawasan tidak hanya dari bangku sekolah semata, namun juga dari Pondok Pesantren, teman sebaya, aktivis 98’ dan orang-orang yang pernah ia temui semasa muda dulu diperantauan, Jakarta. Hal itulah yang menjadikan Pak Yanto begitu lancar ketika menceritakan sejarah 98’ dengan rezim Soeharto, jiwa patriotis, nasionalis, sejarah dan makna pancasila sebagai dasar Negara.

Dari tutur kisah pribadinya, mulanya banyak orang yang tak percaya bahwa ia adalah lulusan SMA lantaran ia berprofesi sebagai pemulung, bukan hanya tidak percaya justru kebanyakan mencemoohnya, terlebih ketika membuka obrolan tentang isu yang berkembang dan pancasila.

Obrolan yang semula berkutat pada pengenalan diri dan profesi lantas Pak Yanto mulai menggeser kearah obrolan isu yang berkembang dimasyarakat atas pemberitaan media, dengan lancar pula  ia membahasnya dengan landasan rasionalisasinya sebagai pemulung yang berilmu lebih.


Pancasila dan Ahok 

Pak Yanto berpendapat bahwa pecalonan Ahok sebagai Gubernur adalah sah-sah saja, karena Negara kita berlandaskan pada Pancasila, dengan catatan menang karena rakyat memilihnya dan yang tak benar ialah memaksakan menang, padahal rakyat tidak memilihnya. 

Aksi masa 411 pun tak luput dari penguraiannya, menurut beliau sebagai Negara pancasila dan hukum alangkah baiknya kita mengedepankan aspek hukum sebagai sarana penyelesaiannya bukan dengan intimidasi dan perang dimedia yang saling menjatuhkan, hal itu menurut dia justru akan memicu konflik dan perpecahan bangsa. Hari ini yang terjadi dimasyarakat, api yang menyala, lantas oleh  segelintir orang malah disiram dengan bensin, bukan dengan air agar api padam. 

Hidup sekarang harus teliti dan hati, kalau gak teliti dan hati hati maka celaka sendiri. (Pak Yanto)
Baginya, proses hukum yang sedang berjalan finishnya ada pada keberanian hakim dalam mengambil keputusan, bila hakimnya berani, bila memang Ahok salah nyatakan salah, bila tidak bersalah putuskan bahwa memang Ahok tidak bersalah. Kalau tidak berani, ya rusak hukum kita.

Dia bukanlah pendukung Ahok karena memang dia bukan orang Jakarta dan bukan juga saudara Ahok. Menyikapi yang demikian hanya melalui  wawasan yang pernah ia dapat tentang pancasila dan Undang-undang dari orang-orang yang ia temui dahulu. Dan dengan dua instrument itulah ia berani mengkomentari perihal Ahok dan pencalonannya sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta.


Memaknai Jihad Yang Keliru (Kasus Bom Samarinda) 

Selepas membahas isu tentang Ahok dan Pancasila, secara spontanitas Pak yanto bermanuver kearah pemberitaan yang masih hangat pula terkait Kasus Bom Samarinda yang mengatasnamakan Jihad. Bagi Pak Yanto Jihad semacam itu adalah jihad yang keliru, lantaran ingin masuk surga dengan cara yang instan dengan bom bunuh diri dan yang menjadi korbanpun orang-orang yang tak tahu apa-apa dan belum tentu berdosa (anak-anak). 

Pak Yanto berujar bahwa tak ada dalil maupun hadits yang menganjurkan hal semacam itu, baginya itu perbuatan yang keliru dalam memaknai kata jihad dan tentu saja dapat mengganggu Negara dan Pancasila. Beliau mengatakan demikian berdasarkan pengetahuannya selama mengenyam pendidikan Pesantren di Kampung Halamannya.

Dan jikalau ada yang geram dengan kata-katanya, dia dengan senang hati akan menerima kedatangannya dikediamannya (Red-Jembatan Rawa Semut) untuk berdiskusi bertukar pikiran. Jihad yang pas baginya adalah jihad ilmu, yakni memperkaya diri dengan berbagai ilmu, anak-anak muda sekarang yang kurang berilmu seringkali menjadi mudah terprovokasi yang lantas melakukan tindakan-tindakan konyol.

Pesannya, Pancasila bukan hanya untuk dijaga saja, namun juga untuk di pahami, dijalani dan diamalkan supaya Indonesia bisa aman, tentrem ayem.

Mengalah jangan terlalu mengalah, berani jangan terlalu berani, tapi harus mengedepankan rasa. (Pak Yanto)
Itulah beberapa segmen obrolan  dengan Pak Yanto yang coba kami uraikan dan sajikan dalam media penulisan. Meskipun beliau adalah Pemulung, daya kritis, kepekaan sosial dan Analisis Medianya berjalan.  Hal tersebut semoga menjadi pesan kesadaran kepada kalangan muda, terutama Mahasiswa agar tak terjebak dalam ruang-ruang apatis yang beraromakan seribu kenyamanan yang lambat laun terus menggerogoti daya talar, kritis dan realistis.

Keramahannya dan wawasannya tersembunyi dari khalayak ramai karena peranan profesinya. Itulah Pak Yanto, sang pemulung yang berilmu lebih. Kesempatan untuk berdiskusi dengannya begitu lebar, dia sangat senang bila ada orang yang mau datang berkunjung dan berdiskusi tentang segala hal.

***

0 Response to "Pancasila Perspektif Seorang Pemulung"

Posting Komentar